Wednesday, September 23, 2009

Mencari dan memberi yang terbaik


Bosan Hidup (www.suaramerdeka.com)

Seorang pria mendatangi seorang Guru. "Guru, saya sudah bosan hidup.
Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang
saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati saja."
Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."

"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu
sebabnya saya ingin mati." Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama 'alergi hidup'".

"Kamu alergi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang alergi
terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan
ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti
di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita
mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan
membuat kita sakit. Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga,
pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng.
Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita
ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita."

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh
dan bersedia mengikuti petunjukku," kata sang Guru."Tidak, Guru. Tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi," pria itu menolak tawaran sang Guru.
"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" tanya Guru.
"Ya, memang saya sudah bosan hidup," jawab pria itu lagi.

"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu mati saja. Ambillah botol obat ini.
Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kau
minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan
tenang." Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini
aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena
ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut
"obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia
rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal satu malam dan satu
hari ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang.
Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah
malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia
bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya
dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu". Sekali lagi, karena malam itu adalah
malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.

Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan
pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih
tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi.
Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi
terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istri pun merasa aneh
dengan sikap manis suaminya, kemudian berkata, "Sayang, selama ini mungkin aku
salah. Maafkan aku ya."

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Karena
siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Ia
menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai pendapat-pendapat yang
berbeda. Stafnya pun bingung. "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Sikap mereka
pun berubah kepada Bos, lebih penurut dan tidak ngeyel.

Hidup menjadi lebih indah. Ia mulai menikmatinya.Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan". Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami."

Sungai kehidupan mengalir kembali. Hidup terasa sangat indah. Pria itu pun
mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi, bagaimana dengan setengah botol
yang sudah ia minum sore sebelumnya?

Ia mendatangi Sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru
langsung mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata, "buang saja botol itu.
Isinya air biasa. Kau sudah sembuh."

"Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa
maut dapat menjemputmu segera, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.
Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan
mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan.
Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.
Itulah jalan menuju ketenangan," jelas Sang Guru panjang lebar.

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke
rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ia pun selalu merasa
bahagia, tenang, dan hidup.



"Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak membaca, paling bertakwa,
paling sering beramar ma'ruf nahi munkar, dan paling gemar menjalin hubungan
silaturahmi." (Muhammad SAW).

Monday, September 21, 2009

SENDAL JEPIT ISTRIKU


Karya YULIA ABDULLAH (REPOST)

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa
kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam
keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan
lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak
ketulungan.

“Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak
keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan
emosi untuk tak menggerutu.

“Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya
mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.

“Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak
tahan kalau makan terus menerus seperti ini!” Jawabku masih dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala
dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.

*******

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan
jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang
terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di
rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku
tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung
di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan
seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

“Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus
begini?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihah itu
tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur
tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah?”

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis,” batinku.
“Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri
shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya
menganak sungai.

“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini
berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk
kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak
bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi,
sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…

********

Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… Abi kan
sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.

“Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan
di jalan,” jawab isteriku.

“Lho, kok bilang gitu…?” selaku.

“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau
mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas
menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi.

“Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.

*******

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini
tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara
belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita,
memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang
sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu.
Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu.
Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai
kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya
bersepatu bagus.

“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku.

“Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke
tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah
mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya.
Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti
yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan
orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku
berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini
dia mujahidah (*) ku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu
bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai
baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali
dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju
pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku,
padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku
benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk
mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah
berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap
keluarganya.”

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut
isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa
menjadi suami terzalim!

“Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu
lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya
mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

“Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku
segirang ini.

“Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari
dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.

******

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum
bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”
ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.

Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud
(**) dan ‘iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa
nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

(Oleh : Yulia Abdullah)

Keterangan

(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad

(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup secukupnya walau mampu lebih dari itu

(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa malu

Tuesday, September 15, 2009

BEGINI

Dahulu kala kuselalu bermimpi
tentang kebahagian yang akan kujalani
Tuhan tahu apa yang terjadi
tapi semua tetap begini

Tuhan Kau tahu
apa yang sedang kurasakan
Meratapi hari dengan kehampaan
membayangkan apa yang akan terjadi nanti

HENING

aku di sini dalam sepi
tanpa siapa-siapa lagi
tak sebebas seperti yang pernah kualami
termangu ku dalam sepi

malam ini kutermenung
menanti datangnya hari yang tak pasti
lama nian waktu berlalu
akankah mampu kulewati semua ini

akankah sia-sia usahaku
berjuang demi kehidupan nanti
namun semua menjadi tak pasti
berubah arah tanpa kumengerti

Sunday, September 13, 2009

Cinta itu...

Cinta itu seperti kupu-kupu. Tambah dikejar, tambah lari. Tapi kalau dibiarkan terbang, dia akan datang di saat kamu tidak mengharapkannya. Cinta dapat membuatmu bahagia tapi sering juga bikin sedih. Cinta baru berharga kalau diberikan kepada seseorang yang menghargainya. Jadi janganterburu-buru, dan pilihlah yang terbaik.
Cinta bukan bagaimana menjadi pasangan yang "sempurna" bagi seseorang. Tapi bagaimana menemukan seseorang yang dapat membantumu menjadi dirimu sendiri. Dan karena itu kamu sempurna.
Jangan pernah bilang "I love you" kalau kamu tidak perduli. Jangan pernah membicarakan perasaan yang tidak pernah ada. Jangan pernah menyentuh hidup seseorang kalau hal itu akan menghancurkan hatinya. Jangan pernah menatap matanya kalau semua yang kamu lakukan hanya kebohongan. Hal paling kejam yang seseorang lakukan kepada orang lain adalah membiarkannya jatuh cinta, sementara kamu tidak berniat untuk menangkapnya...
Cinta bukan, "Ini salah kamu", tapi "Ma'afkan aku". Bukan "Kamu di mana sih?", tapi "Aku disini". Bukan "Gimana sih kamu?", tapi "Aku ngerti kok". Bukan "Coba kamu gak kayak gini", tapi "Aku cinta kamu seperti kamu apa adanya".
Kompatibilitas yang paling benar bukan diukur berdasarkan berapa lama kalian sudah bersama maupun berapa sering kalian bersama, tapi apakah selama kalian bersama, kalian selalu saling mengisi satu sama lain dan saling membuat hidup yang berkualitas.
Kesedihan dan kerinduan hanya terasa selama yang kamu inginkan dan menyayat sedalam yang kamu izinkan. Yang berat bukan bagaimana caranya menanggulangi kesedihan dan kerinduan itu, tapi bagaimana belajar darinya.
Caranya jatuh cinta: jatuh tapi jangan terhuyung-huyung, konsisten tapi jangan memaksa, berbagi dan jangan bersikap tidak adil, mengerti dan cobalah untuk tidak banyak menuntut, sedih tapi jangan pernah simpan kesedihan itu.
Memang sakit melihat orang yang kamu cintai sedang berbahagia dengan orang lain tapi lebih sakit lagi kalau orang yang kamu cintai itu tidak berbahagia bersama kamu.
Cinta akan menyakitkan ketika kamu berpisah dengan seseorang, lebih menyakitkan apabila kamu dilupakan oleh kekasihmu, tapi cinta akan lebih menyakitkan lagi apabila seseorang yang kamu sayangi tidak tahu apa yang sesungguhnya kamu rasakan.

(suara merdeka)

Hadiah cinta seorang ibu (Resonansi-Suara Merdeka)

"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan napasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh.

"Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.

Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."

Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah.... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

Sunday, September 6, 2009

Filsafat Cinta Plato

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta"

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?" Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)". Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"

Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,"Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?"

Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?" Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya"

Gurunya pun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"