Sunday, August 1, 2010

Alam Untuk Anak Cucu Kita

Waktu telah menunjukkan pukul 12.11 waktu Berlin, meski matahari sudah beranjak dari tidurnya beberapa jam yang lalu dan bersinar terik siang ini namun sepertinya kesunyian masih menyelimuti lingkungan sekitar Wisma Indonesia Berlin ini. Hanya satu dua suara kendaraan yang terdengar lalu lalang di depan Wisma, sisanya hanya suara gesekan dedaunan yang saling beradu karena terpaan angin yang berhempus semilir.

Sebenarnya sehari-harinya suasana yang ada sebenarnya tidak jauh beda, hening dan sepi. Ketenangan sepertinya menjadi harga yang tidak dapat ditawar lgi dilingkungan ini, atau bahkan diseluruh pelosok Jerman ini. Masih sayup-sayup terdengar suara burung di samping rumah yang selalu bertengger dipucuk-pucuk ranting pohon besar di samping Wisma, hal yang sudah sangat jarang kutemui di rumahku yang masih desa beberapa waktu yang lalu.

Tak jarang juga kutemui burung dara atau burung lainnya yang berlarian di lapangan belakang Wisma. Mereka begitu menikati kebebasan menjadi binatang yang sangat dijaga kelestariannya. Terbang ke sana kemari dengan riang tanpa ada gangguan dari tangan-tangan jahil seperti di daerah asalku. Bahkan pernah kulihat binatang seperti serigala liar masih berkeliaran disekitar Wisma ini. Ntahlah, terkadang aku selalu membayangkan andaikan ini terjadi di Indonesia, mungkin akan sangat indah untuk dinikmati.

Aku suka menikmati alam, tapi aku sendiri belum mampu mencintai alam dengan baik. Namun besar harapan dalam diriku dapat membantu mengurangi kerusakan alam yang akan terjadi di dunia ini. Aku selalu berusaha untuk mendukung penolakan terhadap pembalakan liar yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia, meski aku tidak bisa secara langsung turun tangan untuk membantunya. Benang kusut mafia lingkungan di Indonesia sudah begitu parahnya, mungkin butuh waktu setidaknya 20-50 tahun untuk mengurainya, dengan memangkas sumber-sumber kekusutan. Namun itu semua akan sangat bergantung kepada siapa pemimpin negara kita saat itu.

Pada suatu kesempatan aku sempat berbincang dengan seorang bapak penggiat lingkungan hidup yang kebetulan menginap di Wisma ini setelah mengikuti pertemuan "Climate Change" di Bonn tahun 2009 yang lalu. Bapak itu menceritakan bagaimana jutaan hektar tanah terbengkalai di Kalimantan. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan kayu-kayu hitam sisa-sisa pembakaran dari proses pembalakan liar. Tanah di Kalimantan sebagian besar adalah tanah gambut, dan fakta tentang tanah gambut adalah tanah yang kurang subur untuk bercocok tanah, jadi tanah jutaan hektar itu akan benar-benar terbengkalai hingga ada keinginan dari Pemerintah maupun LSM untuk melakukan reboisasi terhadap jutaan hektar tanah itu yang tentunya memakan waktu yang tidak satu dua tahun saja, cukup lama tentunya. Coba kita cek berita ini http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/detakbumi/emisi_co2_indonesia061103-redirected ternyata banyak sekali hal-hal yang telah terjadi di Indonesia berkenaan dengan perubahan iklim.

Sudah saatnya kita menyadari akan hal ini, sebuah kesadaran yang sangat belum terlambat untuk kembali menata diri sendiri dan menjaga lingkungan sekitar agar dapat terjaga kelestariaannya, sehingga anak cucu kita dapat juga merasakan indahnya alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini. Sanggupkah mata kita nantinya melihat sungai-sunagi yang ada menjadi got-got raksasa? akankah kita rela gunung-gungung menjadi danau raksasa karena penambangan liar? Adalah Sunnatullah ketika ekosistem telah rusak maka kehancuranlah yang akan terjadi di muka bumi ini.

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar Ruum:41).


Salam,
Berlin 12.47 01.08.2010