Sunday, May 16, 2010

Mati Lampu,,,Aduh Gelapnya....

Jaman rikolo semono, listrik mati pas musim hujan adalah hal biasa. Byar pet, bahasa kerennya. Tidak ada yang patut untuk disangsikan memang di desaku sana ketika hujan deras mengguyur, maka ayah selalu memperingatkan untuk menyiapkan senter dan lilin di meja makan agar mudah dijangkau ketika listrik benar-benar mati.

Bahkan tanpa dikomandopun aku dan abangku langsung sudah mengerti apa yang harus dilakukan jika hujan mengguyur 1 jam lewat. Artinya korek api suda ada di saku celanaku, dan tinggal 'jress' saja ketika seluruh kampung mulai gelap gulita.

Ketika jaman mulai agak maju, maka emergency lamp mulai berlaku di rumah, namun itu semua tidak berarti apa-apa karena suasana yang hening telah menghilangkan kebahagiaan dan kegembiraan yang sedang cair dalam ruang keluarga. Dan praktis ketika kami lelah menungu tanpa kepastian kapan listrik akan nyala kembali, masing-masing mulai berjalan ke peraduannya untuk beristirahat.

Lampu senter sempet menjadi thema utama dalam keluarga. Bahkan sampai-sampai karena aku tidak puas dengan senter kecil, akhirnya ayah membelikan senter yang cukup besar, semakin mantap untuk menyorot dalam kegelapan. Sewaktu kecil, senter bagi kami berdua memiliki arti yang cukup penting diantarnya untuk mencari capung setelah sholat magrib dan mancing belut di kali pada malam hari. Jadi ayah sangat paham untuk menghidupkan hobi putra-putranya.

Tidak selama senter dapat bekerja secara maksimal tiap saat, artinya kita harus mengecek lampunya apakah masih layak untuk diapakai ataukah batrenya yang sudah habis masa hidupnya? maka ayahpun punya alat khusus untuk mendeteksi hal ini, yaitu kabel kecil sepanjang 20 cm yang dijadikan alat untuk menguji kelayakan lampu dan baterai dari senter. Cara kerjanya sederhana, cukup lilitkan kabel ke lampu senter dan tempelkan sisi yang lain pada sisi positif dan negatif baterai, jika lampu menyala berarti baterai masih ada tenaga dan sebaliknya.

Dari percobaan di atas, ada pengalaman gila yang pernah kami berdua lakukan. Entahlah dengan pemikiran yang cukup sederhana dari dua orang anak kecil yang ingin mengetes sebuah lampu bolam apakah menyala atau tidak. dengan itu semua, maka kami meotong kabel yang cukup panjang sekitar 1 meter, dan melilitkan sisi yang satu ke lampu sedangkan kelupasan kabel satunya secara perlahan-lahan kami masukkan ke stopkontak, dan apa yang terjadi? Bolamnya tidak menyala, tapi malah seluruh rumah gelap gulita. Sebelum listriknya 'anjlok' ada suara letupan kecil yang muncul dari stopkontak dan keluar sedikit percikan api.

Setelah itu kami sempet berfikir, untuk nggak kesetrum ya... Bodohnya kami berdua..hehe. dan mungkin sampai sekarang ayah ibu tidak pernah tahu kenapa waktu itu listriknya bisa 'anjlok' karena memang kami tidak pernah memberitahukannya,,,hehe..

Kamal

Salam sayang untuk Ayah Ibu

20:26 17.05.2010


Tuesday, May 11, 2010

Jahit Menjahit

Bagi sebagian besar perempuan, kegiatan dondom mendondomi atau menjahit (bahasa kerennya) adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan terkadang menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri untuk bisa melakukan kegiatan ini. Boleh dibilang sepele, namun tentunya tidaklah boleh menyepelekan suatu kerjaan.

Dapat kita bayangkan seandainya seorang ibu rumah tangga masih kesulitan atau bahkan belum pernah sama sekali berlatih menjahit, sampai-sampai bingung harus bagaimana memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Dari pengalaman di lapangan, biasanya seorang ibumuda akan sering sekali melakukan kegiatan ini tentunya terjadi karena ia memiliki seorang bayi yang mana pakaiannya bayi atau balita sering kali terkoyak sedikit, namun sayang untuk sekedar menjadi lap dapur *pengalaman euy.. Maka tentunya keahlian dondom mendondomi adalah suatu keharusan yang sebaiknya dikuasai oleh seorang perempuan.

Namun ternyata tidak hanya perempuan saja yang boleh menguasai hal ini, para pria pun disarankun untuk dapat melakukannya meski tidak begitu sempurna. Tidak ada yang salah dengan memiliki kemampuan ini, bahkan akan menjadi nilai plus yang berbeda dengan lainnya. Memang menjahitkan baju yang sedikit koyak ataupun memotong celana yang kepanjangan lebih mudah dan praktis menyerahkannya kepada ahlinya, tukang jahit, tapi apakah selamanya kita akan bergantung pada tukang jahit? nah kalo tukang jahitnya libur sebulan? gmn jal? hahaha...

Untuk seseorang yang hidup dalam lingkungan yang serba mudah tentunya pilihan menyerahkan kepada ahlinya adalah pilihan utama, dan akan berbeda dengan seseorang yang hidup dalam lingkungan serba susah. Aku sendiri sedari kecil Alhamdulillah sudah mengenal akan budaya ini, karena secara langsung dapat melihat pengalaman dari Ibuku yang dahulu suka sekali memodifikasi pakaian dan bahkan sarung bantal. Aku sendiri punya pengalaman sungguh memilukan dengan proses modifikasi ini. Tentunya kita tahu petani, dengan celana modifikasi dari karung gandum mereka terlihat gagah berjalan di sawah, sehingga membuat diriku tertarik untuk memiliki celana aneh dari karung gandum ini *dasar aneh!!! dengan sedikit rengekan kecil kepada Ibuku, akhirnya beliaupun sanggup untuk memenuhi permintaanku membuat celana gandum...hohoho... sungguh itu menjadi kenangan yang tak terlupakan, bahkan aku bangga memakai celana itu karena berbeda dengan teman-teman lainnya.. uhuuuuuy...

Ketika memasuki bangku Sekolah Tingkat Pertama, ternyata ilmu ini sangat berguna bagiku yang mana aku harus hidup dalam asrama yang untuk sekedar keluar komplek aja sangat sulit, aalagi hanya dengan alasan untuk njahit koyakan kecil. Maka dengan coba-coba diumur yang relatif terbilang masih belia aku sanggup bertahan untuk melakukan hal ini sebaik mungkin meski terkadang masih terlihat jitetan-jitetan yang agak aneh dipakaianku tapi itu tak jadi masalah selama tidak terlihat memalukan,,,,hehehe

Tak disangka tak dinyana, ilmu itupun masih terpakai hingga saat ini, ketika aku bekerja di Jerman. Meski sempat agak malas-malasan, namun aku harus melakukannya karena yang koyak saat ini adalah celana stelan jas, jadi kalau aku tidak segera menambalnya, maka tentunya stelan tersebut akan terus menerus tidak terpakai. Dengan sedikit kemantapan, alhasil aku mampu melakukannya dengan sedikit sempurna, meski benang yang kupakai kurang cocok dengan celananya, untungnya hasilnya tidak terlihat perbedaan antara warna celana dan benangnya :D... Ya daripada harus keluar 10 euro untuk hal yang simple ini, tentunya malakukannya sendiri meski dengan keterbatasan adalah suatu hal yang patut diacungi jempol bukan? hehehe.. baginilah nasib anak perantauan yang masih bujangan... hohoho.. Semoga kemadirian ini dapat terwariskan kepada anak cucuku kelak sehingga mereka tidak terlalu pusing untuk menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Amin.

Berlin,
23.11 11.05.2010

Friday, May 7, 2010

Membudayakan Budaya Santun

Dahulu, sewaktu masih bekerja di Moratelindo, ada salah satu Direktur Operation yang membawahi Departemen Legal, merupakan lulusan perkapalan Jerman dan kemudian menikah dengan orang Belanda yang akhirnya menjadikan dia berkewarganegaraan Belanda. Dengan tampang yang bersih, beliau ketika jam kantor dimulai selalu menyapa semua orang yang ditemuinya setiap pagi dengan sapaan hangat 'selamat pagi'.

Agak janggal memang rasanya mendengar seseorang dengan kebiasaan seperti itu. Menyapa siapa saja yang ditemuinya di meja-meja ruang kantor. Aku sendiri belum terbiasa dengan hal ini. Namun lama kelamaan telingaku sudah agak terbiasa mendengar beliau menyapa tiap pagi. Ntahlah dari mana asalnya kebiasaan yang melekat itu, mungkin bisa dihitung jari di kantor ini yang terbiasa dengan kebiasaan itu.

Baru sekarang aku mulai menyadari asal dari kebiasaannya tersebut. Pergaulan dan gaya hidupnya yang sempat mengenyam pendidikan di Jermanlah yang menurutku menjadikan kebiasaan itu melekat padanya. Meski belum lama tinggal di Berlin, Ibu Kota Jerman, namun begitu bergaul dengan sebagian orang-orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sini, rasanya sapa menyapa menjadi hal yang biasa.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah tabiat orang Jerman sendiri yang selalu mengucapkan 'hallo' ketika bertemu atau berpapasan dengan seseorang meskipun keduanya tidak saling mengenal. Pernah suatu ketika aku berkunjung di apartemen seorang teman, ditangga aku bertemu dengan seorang anak kecil, yang aku sendiri merasa tidak perlu menyapanya, karena dalam pikiranku malah nanti dia akan takut dengaku kalau aku berusaha memeperhatikannya, tapi ternyata dugaanku salah bersar. Dengan kalemnya anak itu menyapaku 'hallo', meski dengan kaget kucoba untuk menjawab sapaannya dengan 'hallo' juga.

Mungkin bagi kita berucap 'terima kasih' juga belum begitu membudaya, paling-paling hanya kepada orang-orang tertentu kita akan berucap kata ini. Namun anda sungguh akan kaget ketika 'terima kasih' adalah bahasa wajib yang harus diucapkan kepada seseorang yang telah membantu kita, ntah itu tukang sampah yang mengambil isi bak sampah kita, penjual minuman atapun orang yang sekedar meberi jalan dipintu masuk suatu gedung.

Kebiasaan inipun pada akhirnya mulai menular kedalam perilakuku sehari-hari. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lepas dari mengucapkan 'terima kasih' kepada seseorang yang telah membantu meski hanya memberikan minuman ataupun memberikan kembalian uang recehan sewaktu aku berbelanja. Tentu tidak ada yang akan berkurang dari diri kita ketika kata itu terucap, bahkan rasa syukur sesungguhnya telah keluar lewat ucapan yang sederhana tersebut.

Satu lagi yang tak kalah penting adalah kata 'bitte'. Bitte yang dalam bahasa indonesia artinya silahkan/tolong selalu terucapa dari bibir-bibir orang Jerman ketika hendak memesan atau membeli sesuatu, semisal 'einmal kaffe bitte' (one coffee please). Adakah budaya seperti ini sudah mengakar dalam benak bangsa kita yang katanya berbudaya timur? aku rasa meskipun sepele namun kata-kata tersebut memiliki arti yang sangat hebat. Artinya dengan begitu kita berusaha menghargai seseorang meskipun ia seorang tukang sampah ataupun pelayan restoran.

Pada dasarnya tidak ada pekerjaan yang hina di dunia ini, tapi itu semua kemudian bergantung kepada cara suatu komunitas menghargai sesamanya. Ketika rasa menghargai dan membutuhkan dimunculkan maka rasa tepo seliro akan mulai berkembang dalam masyarakat. Mungkin juga budaya kemandirian orang Jerman menjadi salah satu dalil meunculnya sikap pengertian ini. Artinya ketika kemandirian dalam melakukan sudah menjadi kebiasaan, maka tentunya kita akan merasakan bagaimana melihat sesuatu dengan cara pandang orang lain. Mempersepsikan diri sendiri seolah-olah menjadi orang lain, sehingga dapat merasakan apa yang sebenarnya sedang orang lain rasakan.


Kamal
-Obrolan dengan Pak Ali dan Pak Awan-
00.14 08.05.2010

Thursday, May 6, 2010

Nasib Anak Kos

Rasanya malam ini terasa sepi sekali. Padahal tiap malam aku merasakan hal yang sama seperti ini. Ntahlah kenapa tiba-tiba begitu terasa kesepian ini ya,,,,aneh... hehehe
Kalo dulu sewaktu ngekos nyanyinya 'nasib anak kos' sulit makan, sulit jajan, serba sulit, makanya mending ngendon di kos-kosan aja, kalaupun jalan ya jalan-jalan ya paling muter-muter semarang, trus kalo lagi gila-gilaan ya nongkrong di pelabuhan Tanjung Mas malem-malem cuman ngeliat orang mancing sama ngeliat orang-orang bongkar muat barang dari kapal ke truk.. kegiatan yang aneh bukan? tapi aku menikmatinya... hehehe

Nah sekarang di Jerman nyanyinya apa ya?? hahaha,,, gak jauh beda kayaknya deh kaya jaman-jaman ngekos dulu, tetep aja menyepi di dalam kamar main game. baca-baca artikel.Ya kelebihannya sekarang cuman bisa internetan aja, jadi gak perlu ke warnet. Coba kalo gak ada wifi, bisa kaya hidup di tengah hutan beneran deh... daerah wisma ini udah cuman adanya komplek perumahan, jadinya ya mau apalagi kalo gak ngendon di kamar jal? hohoho

Ternyata perjuangan untuk hidup terus bergulir sesuai dengan waktu dan kapasitasnya. Sewaktu kuliah kita berjuang untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik dan kemudian dapat menyelesaikannya hingga wisuda. Begitu wisuda, maka jalan hidup ternyata belum berhenti, masih banyak jalan-jalan lain yang harus di planning untuk menyambung hidup ini. Mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diawal-awal bekerja adalah sesuatu yang terbilang tanpa arah, artinya belum terpikirkan untuk menabung guna kepentingan masa depan karena dengan gaji yang pas-pasan hanya dapat menolong diri sendiri untuk bertahan hidup agar terhindar dari belas kasihan orang lain.

Nah, mungkin tahun kedua kerja yang menurutku merupakan tahun-tahun tersulit. Dengan kondisi keuangan yang agak membaik, namun hanya dapat menyisihkan beberapa ratus ribu untuk bekal planning selanjutnya biaya pernikahan tentunya. Berpikir dan terus berpikir tentang hitungan karena sudah tidak mungkin lagi bagiku sebagai laki-laki untuk meminta belas kasihan orang tua guna membiayai kepentingan pribadiku sendiri. Ditambah lagi dengan pesan Ayah yang memang sudah tidak dapat membantu secara finansial pada kami.

Mungkin itu juga yang menjadi cambuk dan doa. Ternyata memang rejeki tidak kemana. Mau dicari dari kantor ke kantor juga gak akan dapat kalau memang belum waktunya. Berusaha melamar pekerjaan lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik ternyata selalu mentok di tengah jalan. Untung aku tidak terlalu ambil pusing dengan kegagalan-kegalan tersebut, sehingga tidak perlu berstres-stres ria. Bahkan tanpa diduga malah datang tawaran yang tak pernah dinyana-nyanya to.. Segala sesuatu selalu ada hikmahnya. Andai sewaktu melamar kemudian aku diterima di kantor yang baru, dan kemudian tak berapa lama datang tawaran ke Jerman ini, pasti sedikit sulit bagiku untuk memutuskannya, apalagi jika perusahaan yang baru tersebut mensyaratkan penalty bagi karyawan baru yang akan mengundurkan diri, wah pasti suruh bayar kan ya... hehehe.. Allah selalu lebih tahu yang terbaik untuk hambaNya. Jadi, tetaplah berusaha dengan sebaik mungkin, apapun yang akan terjadi sudah menjadi ketentuan dari Allah bahwa itu merupakan jalan terbaik yang harus kita jalani, jangan pernah menyesal dengan kegagalan yang kita alami, karena dibalik itu semua tersimpan rahasia Ilahi yang tidak kita mengerti. Bravo!

Berlin
23.21 06.05.2010

Monday, May 3, 2010

Memandang dengan kaca mata orang lain

Pernahkah kita dimitai tolong oleh orang lain?
Pernahkah kita meminta pertolongan orang lain?

Pertanyaan di atas tentunya akan kita jawab semuanya dengan jawaban 'iya, pernah'. Tulisan ini hanya pandanganku sebagai bagian dari milyaran manusia yang hidup di dunia ini, dan tepatnya seorang Kamal Abdul Aziz yang berasal dari pelosok desa di Kecamatan Weleri sana.

Dalam hidup bermasyarakat tolong menolong adalah hal yang lumrah terjadi, artinya kita tercipta sebagai makhluk sosial dengan ditambah lagi adanya budaya ewuh pekewuh yang melekat pada budaya ketimuran.

Pertanyaan selanjutnya,
Pernahkan kita menolong orang lain dengan keterpaksaan?
Pernahkan kita tidak puas dengan pertolongan orang lain?

Dan aku juga bisa pastikan jawaban kita tidak akan jauh beda dengan jawaban dari pertanyaan pertama 'iya, pernah'. Aku kira juga merupakan suatu kewajaran jika suatu waktu ada rekan kita membuthkan pertolongan, namun di sisi lain ada sesuatu yang mungkin juga sedang kita lakukan, atau mungkin kita tidak enakan apabila ada rekan yang membutuhkan pertolongan namun kita tidak menolongnya, yang artinya ada suatu keterpaksaan yang muncul dalam kondisi demikian. Patut dicermati, keterpaksaan yang terjadi sesungguhnya bukanlah keinginan dari diri sendiri, namun lebih kepada situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, sehingga menjadikan diri kita muncul rasa keterpaksaan. Keterpaksaan yang demikian menurutku dapatlah ditolelir dibandingkan seseorang yang ketika dimintai suatu pertolongan menghindarinya. Justifikasi terhadap keterpaksaan seseorang dalam menolong orang lain bahwa orang tersebut bersifat tidak terpuji tidak selayaknya kita sematkan, karena meskipun dengan keterpaksaan namun sejatinya seseorang tersebut telah melakukan suatu kebaikan. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya" (QS. Al Zalzalah:7)

Hal di atas merupakan bagian kecil dari kehidupan ini. Seandainya kita bisa menjadikan diri ini ikhlas dalam melakukan sesuatu orang lain baik dalam suka maupun duka, tentunya itu merupakan suatu kelebihan tersendiri yang sangat sulit untuk dibayar dengan apapun. Pernahkan kita memandang hidup ini dengan sudut pandang/kaca mata orang lain? sungguh sangat menarik untuk memposisikan diri kita sebagai orang lain ketika kita dihadapkan pada suatu kejadian tertentu. Dengan hal ini maka kita akan memiliki empati yang lebih baik lagi terhadap orang. Dan kitapun akan berandai-andai.. "seandainya aku dalam posisi seperti itu, bagaimana ya?" pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kemudian akan muncul dalam benak kita yang pada gilirannya akan muncul jiwa sosial yang lebih baik dari sebelumnya.

...bersambung....
---ngantuk---