Friday, May 7, 2010

Membudayakan Budaya Santun

Dahulu, sewaktu masih bekerja di Moratelindo, ada salah satu Direktur Operation yang membawahi Departemen Legal, merupakan lulusan perkapalan Jerman dan kemudian menikah dengan orang Belanda yang akhirnya menjadikan dia berkewarganegaraan Belanda. Dengan tampang yang bersih, beliau ketika jam kantor dimulai selalu menyapa semua orang yang ditemuinya setiap pagi dengan sapaan hangat 'selamat pagi'.

Agak janggal memang rasanya mendengar seseorang dengan kebiasaan seperti itu. Menyapa siapa saja yang ditemuinya di meja-meja ruang kantor. Aku sendiri belum terbiasa dengan hal ini. Namun lama kelamaan telingaku sudah agak terbiasa mendengar beliau menyapa tiap pagi. Ntahlah dari mana asalnya kebiasaan yang melekat itu, mungkin bisa dihitung jari di kantor ini yang terbiasa dengan kebiasaan itu.

Baru sekarang aku mulai menyadari asal dari kebiasaannya tersebut. Pergaulan dan gaya hidupnya yang sempat mengenyam pendidikan di Jermanlah yang menurutku menjadikan kebiasaan itu melekat padanya. Meski belum lama tinggal di Berlin, Ibu Kota Jerman, namun begitu bergaul dengan sebagian orang-orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sini, rasanya sapa menyapa menjadi hal yang biasa.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah tabiat orang Jerman sendiri yang selalu mengucapkan 'hallo' ketika bertemu atau berpapasan dengan seseorang meskipun keduanya tidak saling mengenal. Pernah suatu ketika aku berkunjung di apartemen seorang teman, ditangga aku bertemu dengan seorang anak kecil, yang aku sendiri merasa tidak perlu menyapanya, karena dalam pikiranku malah nanti dia akan takut dengaku kalau aku berusaha memeperhatikannya, tapi ternyata dugaanku salah bersar. Dengan kalemnya anak itu menyapaku 'hallo', meski dengan kaget kucoba untuk menjawab sapaannya dengan 'hallo' juga.

Mungkin bagi kita berucap 'terima kasih' juga belum begitu membudaya, paling-paling hanya kepada orang-orang tertentu kita akan berucap kata ini. Namun anda sungguh akan kaget ketika 'terima kasih' adalah bahasa wajib yang harus diucapkan kepada seseorang yang telah membantu kita, ntah itu tukang sampah yang mengambil isi bak sampah kita, penjual minuman atapun orang yang sekedar meberi jalan dipintu masuk suatu gedung.

Kebiasaan inipun pada akhirnya mulai menular kedalam perilakuku sehari-hari. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lepas dari mengucapkan 'terima kasih' kepada seseorang yang telah membantu meski hanya memberikan minuman ataupun memberikan kembalian uang recehan sewaktu aku berbelanja. Tentu tidak ada yang akan berkurang dari diri kita ketika kata itu terucap, bahkan rasa syukur sesungguhnya telah keluar lewat ucapan yang sederhana tersebut.

Satu lagi yang tak kalah penting adalah kata 'bitte'. Bitte yang dalam bahasa indonesia artinya silahkan/tolong selalu terucapa dari bibir-bibir orang Jerman ketika hendak memesan atau membeli sesuatu, semisal 'einmal kaffe bitte' (one coffee please). Adakah budaya seperti ini sudah mengakar dalam benak bangsa kita yang katanya berbudaya timur? aku rasa meskipun sepele namun kata-kata tersebut memiliki arti yang sangat hebat. Artinya dengan begitu kita berusaha menghargai seseorang meskipun ia seorang tukang sampah ataupun pelayan restoran.

Pada dasarnya tidak ada pekerjaan yang hina di dunia ini, tapi itu semua kemudian bergantung kepada cara suatu komunitas menghargai sesamanya. Ketika rasa menghargai dan membutuhkan dimunculkan maka rasa tepo seliro akan mulai berkembang dalam masyarakat. Mungkin juga budaya kemandirian orang Jerman menjadi salah satu dalil meunculnya sikap pengertian ini. Artinya ketika kemandirian dalam melakukan sudah menjadi kebiasaan, maka tentunya kita akan merasakan bagaimana melihat sesuatu dengan cara pandang orang lain. Mempersepsikan diri sendiri seolah-olah menjadi orang lain, sehingga dapat merasakan apa yang sebenarnya sedang orang lain rasakan.


Kamal
-Obrolan dengan Pak Ali dan Pak Awan-
00.14 08.05.2010

No comments: