Sunday, August 1, 2010

Alam Untuk Anak Cucu Kita

Waktu telah menunjukkan pukul 12.11 waktu Berlin, meski matahari sudah beranjak dari tidurnya beberapa jam yang lalu dan bersinar terik siang ini namun sepertinya kesunyian masih menyelimuti lingkungan sekitar Wisma Indonesia Berlin ini. Hanya satu dua suara kendaraan yang terdengar lalu lalang di depan Wisma, sisanya hanya suara gesekan dedaunan yang saling beradu karena terpaan angin yang berhempus semilir.

Sebenarnya sehari-harinya suasana yang ada sebenarnya tidak jauh beda, hening dan sepi. Ketenangan sepertinya menjadi harga yang tidak dapat ditawar lgi dilingkungan ini, atau bahkan diseluruh pelosok Jerman ini. Masih sayup-sayup terdengar suara burung di samping rumah yang selalu bertengger dipucuk-pucuk ranting pohon besar di samping Wisma, hal yang sudah sangat jarang kutemui di rumahku yang masih desa beberapa waktu yang lalu.

Tak jarang juga kutemui burung dara atau burung lainnya yang berlarian di lapangan belakang Wisma. Mereka begitu menikati kebebasan menjadi binatang yang sangat dijaga kelestariannya. Terbang ke sana kemari dengan riang tanpa ada gangguan dari tangan-tangan jahil seperti di daerah asalku. Bahkan pernah kulihat binatang seperti serigala liar masih berkeliaran disekitar Wisma ini. Ntahlah, terkadang aku selalu membayangkan andaikan ini terjadi di Indonesia, mungkin akan sangat indah untuk dinikmati.

Aku suka menikmati alam, tapi aku sendiri belum mampu mencintai alam dengan baik. Namun besar harapan dalam diriku dapat membantu mengurangi kerusakan alam yang akan terjadi di dunia ini. Aku selalu berusaha untuk mendukung penolakan terhadap pembalakan liar yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia, meski aku tidak bisa secara langsung turun tangan untuk membantunya. Benang kusut mafia lingkungan di Indonesia sudah begitu parahnya, mungkin butuh waktu setidaknya 20-50 tahun untuk mengurainya, dengan memangkas sumber-sumber kekusutan. Namun itu semua akan sangat bergantung kepada siapa pemimpin negara kita saat itu.

Pada suatu kesempatan aku sempat berbincang dengan seorang bapak penggiat lingkungan hidup yang kebetulan menginap di Wisma ini setelah mengikuti pertemuan "Climate Change" di Bonn tahun 2009 yang lalu. Bapak itu menceritakan bagaimana jutaan hektar tanah terbengkalai di Kalimantan. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan kayu-kayu hitam sisa-sisa pembakaran dari proses pembalakan liar. Tanah di Kalimantan sebagian besar adalah tanah gambut, dan fakta tentang tanah gambut adalah tanah yang kurang subur untuk bercocok tanah, jadi tanah jutaan hektar itu akan benar-benar terbengkalai hingga ada keinginan dari Pemerintah maupun LSM untuk melakukan reboisasi terhadap jutaan hektar tanah itu yang tentunya memakan waktu yang tidak satu dua tahun saja, cukup lama tentunya. Coba kita cek berita ini http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/detakbumi/emisi_co2_indonesia061103-redirected ternyata banyak sekali hal-hal yang telah terjadi di Indonesia berkenaan dengan perubahan iklim.

Sudah saatnya kita menyadari akan hal ini, sebuah kesadaran yang sangat belum terlambat untuk kembali menata diri sendiri dan menjaga lingkungan sekitar agar dapat terjaga kelestariaannya, sehingga anak cucu kita dapat juga merasakan indahnya alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini. Sanggupkah mata kita nantinya melihat sungai-sunagi yang ada menjadi got-got raksasa? akankah kita rela gunung-gungung menjadi danau raksasa karena penambangan liar? Adalah Sunnatullah ketika ekosistem telah rusak maka kehancuranlah yang akan terjadi di muka bumi ini.

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar Ruum:41).


Salam,
Berlin 12.47 01.08.2010


Saturday, July 31, 2010

Memilih Cakrawala Dunia

Pernahkah kita membayangkan diri kita akan menjadi penulis hebat? rasa-rasanya sangat sulit untuk mewujudkan hal tersebut. Bahkan untuk menulis beberapa paragraf saja menurutku membutuhkan energi yang banyak. Itu menurutku, ntahlah dengan para penulis-penulis hebat yang ada di tanah air ini.

Ketika liburan beberapa waktu lalu kusempatkan untuk sedikit melihat-lihat buku di toko buku, baik Gramedia, Gunung Agung maupun Toga Mas. Ketika aku menginjakkan kaki dipintu masuk, rasa-rasanya kita seperti memasuki taman bermain yang dipenuhi dengan berbagai macam hiburan, ya hiburan yang berbentuk tulisan. Tidak cukup satu jam untuk hanya sekedar melihat-lihat berbagai macam judul buku yang bertebaran di atas lantai maupun rak-rak buku.

Ternyata perkembangan dunia tulis menulis dan dunia percetakan berkembang seiring sejalan. Dan itu semua juga berkat munculnya bakat-bakat menulis dari generasi bangsa ini, baik yang muda ataupun beranjak tua. Mereka semua engan mudahnya menelurkan ide-ide yang terkadang kita tidak pernah terbesit untuk memikirkannya, yang kemudian membuka cakrawala keilmuan kita tentang suatu hal yang baru bagi diri kita.

Namun bagaimanapun mudahnya kita menemukan sebuah buku dengan judulnya yang khas, tentu sebaiknya tidak dengan serta merta kita terpukau dan langsung ngembat buku-buku tersebut tanpa mengetahui dengan baik siapa penulis, penerbitnya dan sedikit review tentang isi buku tersebut di sisi belakangnya. Alih-alih kita akan mendapatkan ilmu, nanti malah kesalahan pemahaman tentang suatu hal yang akan kita dapaptkan jika kita tidak jeli untuk memilah milih terlebih dahulu.

Mungkin sebelum masuk toko buku bolehlah kita menentukan dulu kebutuhan akan buku yang kita inginkan, termasuk diriku yang awalnya hanya membutuhkan buku-buku latihan bahasa jerman untuk pemula. Namun itu keinginan sebelum kaki memasuki pintu toko, setelah itu ya terserah anda mau ambil buku yang mana asal inget aja budjet di kantong ya :D

Meski banyak pilihan, namun untuk menetukan arah tangan dalam mengambil buku yang cocok tentu tidaklah mudah. Pertama mata kuarahkan ke deratan buku-buku yang ada, kemudian otak bereaksi untuk meminta tangan untuk mengambil buku yang menurut mata ini menarik untuk untuk dilihat, dan selanjutnya membaca sedikit reviewnya. Dan untuk melakukan itu semua diseluruh penjuru toko tentunya bisa dihitung sendiri berapa waktu yang diperlukan, tentu waktu satu jam belumlah cukup. So, sediakan waktu yang cukup untuk mendapatkan buku-buku yang menarik dan bermanfaat.

Salam,
Berlin 09.23 31.07.2010

Tuesday, July 27, 2010

Percaturan Kehidupan

Tak lama setelah menyelesaikan liburan dari Indonesia dan kembali beraktifitas di KBRI Berlin, ada aktifitas baru bagi sebagian rekan kerja yang sudah lama tidak aku temukan dalam suasana lingkunganku. Catur, sebuah permainan yang cukup sulit untuk kujalani, tapi ternyata tidak bagi sebagian yang lain.

Meski sewaktu kecil aku pernah menjadi juara 1 lomba catur antar RT dalam rangka HUT RI waktu itu, namun beranjak dewasa dan tua ini rasa-rasanya cukup berat untuk menyentuh kembali bidak-bidak dalam kotak hitam dan putih itu. Berat rasanya untuk duduk berhadapan dengan seseorang untuk dalam waktu yang cukup lama, karena sudah dapat dipastikan bahwa kalau aku bermain catur tidaklah cukup waktu 30 menit untuk menyelesaikan hingga skak mat.

Menurutku kemunculan permainan ini seiring dengan dilombakannya Catur dalam HUT RI kali ini membawa angin sejuk bagi si Komar dan Pak Awang serta beberapa rekan driver yang biasa standby di Keller. Untuk membunuh waktu yang ada, sungguhlah Catur menjadi ajang penyaluran bakat yang tidak membosankan. Permainan catur bukanlah permainan eksakta yang pergerakannya dapat ditebak, tapi lebih rumit dari itu semua.

Setiap bidak memiliki peran masing-masing. Namunlah Raja lah yang paling utama, karena tanpa seorang Raja -pemimpin- tentulah bidak-bidak yang lain sudah tidak dapat dimainkan dalam lembaran hitam dan putih itu. Dalam catur, adalah kejelian untuk melihat suatu visi ke depan, memikirkan 2-3 langkah ke depan. Berusaha membaca pergerakan lawan 2-3 langkah ke depan. Berusaha membaca pergerakan lawan artinya kita diminta untuk dapat melihat bidak itu dalam posisi lawan yang sedang bermain. Kalau dicermati dengan baik, secara filosofis Catur merupakan permainan yang penuh makna untuk menuntun kita dalam menetukan arah kehidupan ini. Jadi ingin seperti apakah karakter kita dalam permainan catur?


Salam,
Berlin 12.20 27.07.2010





Sunday, July 25, 2010

Kesatuan Dengan Alam


Duduk dipinggir muara sungai atau dibebatuan pantai memasang kail dan umpan dibawah terik matahari merupakan kegiatan wajib bagiku setiap kali pulang ke Weleri. Rasanya kurang begitu afdhol ketika pulang ke rumah tidak melaksanakan hajatan ini. Memancing, hoby yang tidak semua orang menyukainya, begitu juga diriku dahulunya, sama sekali tidak berminat. Tapi ketika melihat ayah dan saudara-saudara nyekik ikan sepertinya itu merupakan hoby yang sangat menarik untuk dicoba.



Sebagian orang mengatakan hoby memancing juga melatih kesabaran, ya mungkin ada betulnya juga, tapi itu untuk orang yang tidak hoby dengan kegiatan ini. Namun untuk yang hoby, mancing ya mancing, mau dapat atau nggak itu bukanlah suatu masalah, yang penting duduk dipinggir sungai dan menikmati alam yang terkadang kita lupakan. Kegiatan yang melibatkan alam merupakan aktifitas yang sangat mengasikkan bagiku, dan itu sendiri melatih kemandirian jika dapat diterapkan sejak kecil.

Saat ini mungkin banyak orang-orang tua yang mengikutsertakan anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan outbound yang menyedot banyak uang hanya untuk sebuah permainan yang menurutku sangat sederhana. Permainan yang sebenarnya tidak perlu mengeluarkan hasil keringat dalam sebulan, akan tetapi karena kondisi lingkungan yang terkadang sudah berubah, maka tentu tidak ada salahnya memberikan putra-putri kita pengalaman untuk berkenalan dengan alam meski tidak senatural yang semestinya karena dikelola oleh suatu agen. Dengan itu semua, para orang tua tentunya berharap bahwa mental anak-anaknya akan berubah sejalan dengan makna yang terkandung dalam setiap permainan outbound.

Bagi sebagian anak-anak yang hidup dan besar di desa, seperti saya, segala hal yang berhubungan dengan alam tidaklah asing. Berangkat bermain dengan badan bersih dan pulang sudah tidak berbentuk adalah hal biasa bagiku, ya paling-paling disuruh ngerendem sendiri pakaian kotornya bisa gak ngotorin pakaian lainnya saat akan di cuci. Badan hitam kelam menyisakan warna putih dibalik kulit yang tertutup kaos singlet. Tapi itu dulu.

Tapi sekarang, meski sudah begini, rasanya hidup ini tidak bisa dipisahkan dari kegiatan bergulat dengan alam. untuk mengakomodir keinginan itu mungkin saat ini hanya memancing dan terkadang mendaki gunung menjadi hoby yang selalu ingin kujalani. Sebenarnya ada hal baru yang saat ini ingin aku coba perdalam yaitu diving. Menyelam seperti sangat mengasikkan, menikmati indahnya dunia di kedalaman laut, sisi yang tidak semua orang bisa menjamahnya. Sayangnya belum ada waktu yang pas untuk mengapresiasikan keinginan tersebut meski secara finansial sudah bisa kalau hanya untuk membayar biaya pelatihannya.

Rencana adalah rencana, dan tentunya semua orang ingin semua rencananya dapapt berjalan dengan baik. Bagitu juga diriku, dan semoga keinginan tersebut akan dapapt terwujud meski tidak dalam waktu dekat ini tentunya.

Salam,
Berlin 14.11 25.07.2010

Friday, July 23, 2010

Senyuman Keduanya


-->
-->
Rutinitas dalam bekerja telah dimulai. Bahkan sehari ketika jetlag masih membayangi, tanggung jawab dalam bekerja sudah menanti. Menjemput dan menemani tamu yang merupakan pekerjaan protokoler menjadi tugas pertama yang harus kulaksanakan hingga tengah malam, yang artinya aku harus menahan-nahan rasa kantukku yang sudah mulai merasukiku ketika pukul 18.00 waktu Berlin atau sama dengan jam 23.00 wib. Dan tugas itu baru selesai pukul 23.00 waktu Berlin, berarti aku harus menahan kantuk dan tidak tidur hingga jam 04.00 wib.
Tugas dan tanggung jawab dalam bekerja merupakan hal yang akan dialami oleh semua orang, ntah itu PNS, wiraswasta ataupun para buruh seperti saya ini. Semua memiliki tanggung jawab masing-masing dan sesuai dengan kadarnya ("Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" -QS. Al Baqarah:286). Dari situlah kita patut meyakini bahwa kita akan selalu mampu untuk menghadapi berbagai tantangan hidup ini dengan tanpa membawa beban yang ada ke dalam urusan pribadi kita. Cukuplah lembar-lembar kertas berhenti di depan pintu kantor dan tidak ikut terbawa ke luar hingga memasuki pintu rumah kita.

Begitu pula halnya dengan liburan satu bulan kemaren. Rasanya waktu yang ada di Indonesia hanyalah untuk menikmati kebahagian bersama keluarga dan orang-orang terdekat dan melupakan segala tetek bengek yang ada di salah satu kota paling teratur di eropa, Berlin. Berkunjung ke sana kemari, bercerita dengan sepuas hati dan dengan lantangnya menggelegarkan mulut ini untuk rileks sejenak dengan terbawa selepas-lepasnya yang tentunya tidak pernah kulakukan di Berlin.
Indonesia, bagaimanapun kondisinya adalah negaraku. Dan di sanalah semua cerita tentangku bermuara. Liburan yang sangat memberikan kesan mendalam bagiku dan juga keluargaku. Karena untuk pertama kalinya setalah dua dasawarsa kami tidak bertamasya bersama-sama, meskipun masih terasa kurang dengan tidak bergabungnya sang abang dan keluarganya. Dan itu yang akan menjadi tantangan bagi kami untuk dapat mewujudkannya suatu saat agar dapat menjadwalkan diri dan keluarga demi berkumpul dengan keluarga besar yang sangat berharga.
Kulihat dengan jelas senyum ayah dan ibu. Ya, sebuah senyum kebahagiaan menurutku dapat berkeliling kota-kota lain bersama anak dan cucunya. Sebuah kemenangan bagiku tentunya dapat melebarkan senyum sumringah keduanya. Mungkin bagi kebanyakan orang itu hal biasa, tapi bagiku adalah sesuatu yang luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang ada rencana yang sudah pernah aku bicarakan dapat terlaksana dengan baik meski masih ada sedikit hal yang harus diperbaiki dalam berwisata selanjutnya.

Salam,
Berlin 23.07.2010 12.09

Saturday, June 12, 2010

Sihir Padang Golf

Golf, olah raga mahal yang tidak banyak orang mampu untuk melakukannya. Karena mahalnya, tentunya tidak semua orang ingin menggeluti olah raga yang satu ini. Apalagi masyarakat Indonesia yang taraf hidupnya masih banyak di bawah garis kemiskinan. Bahkan akupun tidak ada kepikiran untuk mau menekuni golf ini, cukuplah badminton dan catur menjadi olah raga yang aman dan murah..

Namun bagi sebagian orang yang memiliki cukup modal bermain golf menjadi salah satu hoby yang dapat dijadikan sebagai ajang untuk memudahkan komunikasi dengan rekan-rekannya. Menjadi alat untuk memudahkan dalam melakukan negosiasi tanpa harus mengerutkan dahi. Pembicaraan akan berjalan lancar tanpa beban ketika berada di lapangan golf yang sungguh indah untuk dinikmati dengan pandangan mata. Rumput-rumput yang hijau dan rapi serta ditambah dengan kreasi bukit-bukit dan pohon-pohon yang rindang menjadikan olah raga golf menjadi sebuah ajang untuk merelaksasi kejenuhan dalam beraktifitas.

Meskipun aku sendiri tidak bisa bermain golf, paling-paling hanya driving dan itupun ketika memukul kadang kena dan kebanyakan luput, tapi aku merasakan sensasi relaksasi dan santainya berkomunikasi dengan atasan. Atasan yang dalam kesehariannya bekerja dengan serius ketika melihat hijaunya rumput padang golf mendadak sumringah wajahnya dan semuanya menjadi cair dalam indahnya alam.

Berbagai cerita dan pengalaman semuanya menjadi bahan pembicaraan yang tak putus-putusnya. Bahkan tidak ada larangan untuk tertawa sepuasnya, semua legal di sini. Bahkan tidak ada pembicaraan yang nyerempet ke masalah pekerjaan, semuanya harus berbicara dalam koridor luar kantor. Betapa asiknya jika setiap hari tidak masuk kantor tapi selalu bermain golf, tentunya tidak ada kata capek dan pusing menghadapi kepenatan rutinitas di dalam ruangan.

Berlin, 23.22 12.06.2010


Thursday, June 10, 2010

Mbalik Ndeso

Sudah setahun lebih aku tinggal di Berlin ini dan belum pernah merasakan rasanya pulang kampung. Tapi, aku sudah punya tiket Qatar untuk pulang. Kapan?? hehe.. Pekan depan aku sudah bisa pulang tanggal 18 Juni 2010, dan ini akan menjadi pengalaman yang sangat berarti bagiku. Pengalaman pulang kampung dari Eropa sendirian lagi. Kalau ibuku tahu bisa kepikiran terus tuh anak bontotnya pulang sendirian (trus gmn ya bu? hehe)

Tapi ya beginilah nasib pekerja migran, dapat jatah cuti cuman 14 hari kerja plus perjalanan pesawatnya 5 hari. Ya mau gimana lagi jal, namanya juga buruh. Bedain dong ya kalau sudah jadi juragan, tentu akan berbeda keadaannya. Pulangnya bisa sewaktu-waktu dan masalah biaya perjalanan tidak pernah terpikirkan karena uang bukanlah halangan yang penting bisnis atau pekerjaannya tuntas. Tapi semua harus disyukuri tho.. bisa beli tiket PP Berlin-Jakarta dengan jerih payah sendiri suatu mimpi yang bagiku musatahal bin mustahil dulunya, dan sekarang ternyata bisa.

Hari-hari kalau dipikirkan itu rasanya luaaama ya. Selalu dihitung dan hitung lagi. Dan sekarang ini tanggal 10 Juni 2010, praktis kurang 8 hari lagi aku akan terbang ke Jakarta. Sayangnya aku baru nyampe Jakarta jam 21.30, jadinya gak bisa langsung meneruskan perjalanan ke Semarang, walhasil harus menghubungi rekan-rekan yang weekend itu ada di Jakarta untuk sekedar silaturahmi dan numpang transit. Dan munkin pagi harinya baru aku akan melanjutkan perjalanan ke Semarang dengan kereta saja karena bagasiku mungkin sekitar 30kg, dan menrut info bagasi untuk penerbangan domestik maksimal 20 kg, jadi daripada mbayar mahal untuk tiket pesawatnya dan juga nambah overloadnya mendingan naik kereta yang bisa sembari tidur dan juga menikmati pemandangan yang sudah lama tidak kulihat lagi.

Aku sendiri saat ini masih bingung bagaimana akan berekspresi ketika kakiku kembali menginjakkan jakarta, atau bahkan nantinya akan menginjakkan kaki di rumah ayah ibuku tercinta di Weleri. (Ada saran?). Ya semoga saja aku tidak pingsan begitu memasuki pintu rumah. Semua kenangan akan langsung membahana dalam benakku, kembali bangkit segala rasa masa alalu yang pernah pudar. Cant wait for next Friday 18, June 2010.

Berlin, 22.48 10.06.2010
Pengen ndang balikkk..

Sunday, June 6, 2010

Remembering of Ma'haduna I

Sudah lama sepertinya diriku vakum dari kegiatan tulis menulis kembali, meski sebenarnya banyak hal yang ingin kutuliskan di sini, namun terkadang diriku selalu berfikir, untuk apa hal-hal yang sepele dan lebih bersifat pengalaman pribadi di share di sebuah blog? kalau ada yang mbaca malah nantinya akan menertawakanku dengan berbagai pengalaman pribadi yang konyol dan tidak layak untuk dibaca. Meski begitu, ternyata persepsiku sepertinya salah, karena diantara 230 juta penduduk Indonesia ini, ternyata ada seorang yang menanyakan tentang kevakumanku dalam menulis, dan itu sungguh diluar dugaanku, ternyataaaaaa.. :)) dan malam inipun tanpa ragu lagi kumulai menghentakkan jari telunjukku untuk mengetik dengan gaya tersendiri diatas keyboard laptop usang ini.

Sebelum membuka kembali blog ini untu kemudian aku mulai menulis, ada hal yang sedikit memberikan inspirasi padaku yaitu kisah inspiratif yang ditayangkan dalam Kick Andy pada episode "Negeri 5 Menara". Ketika pertama kali membaca judul itu, yang terbesit dalam benakku tetang Negeri 5 Menara adalah 5 agama yang diakui di Indonesia, artinya selain menara umat islam ada menara-menara dari agama-agama lain yang juga diakui di negeri ini. Namun ternyata dugaanku salah besar, judul tersebut tidak ada kaitannya dengan perbedaan keagamaan.

Negeri 5 Menara sebuah novel yang diilhami dari perjalanan kehidupan 6 orang anak yang pernah tinggal satu asrama dalam sebuah Pondok Pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Apa yang ceritakan oleh beberapa orang yang namanya ada dalam novel tersebut tidak berbeda jauh dengan keidupan yang pernah kualami di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam di Solo. Meski mungkin pamor Pondokku tidaklah setenar Gontor, namun kehidupan keseharian dalam asrama sepertinya tidaklah jauh berbeda.

Pada awalnya pun aku tidaklah berminat untuk mengenyam pendidikan pesantren. Hal ini buknalah karena aku tidak ingin belajar agama dengan baik, namun dari sisi ekonomi keluarga saat itu aku merasa tidaklah memungkinkan bagi Ayahku untuk menyekolahkan Kakakku, Abangku yang sudah belajar d sana duluan dan selanjutnya diriku. Meski dalam hitungan matematis sebenarnya tidaklah semahal saat ini, namun jika aku sekolah di SMP ataupun MTs yang deket dengan rumah tentunya hal ini dapat sedikit meringankan beban anggaran orang tua.

Akan tetapi keinginanku ternyata tidak dikabulkan. Dengan berbekal kegalauan, aku pun memulai bersekolah di asrama yang jauh dari orang tua, meski pada kenyataannya kedua saudara kandungku berada di sana namun saat itu aku masih membutuhkan kasih sayang orang tua, terlebih lagi aku adalah anak bontot :)) Tapi apalah daya, saat itu aku sebagai anak hanya bisa menuruti keinginan orang tua yang berkewajiban untuk memberikan bekal ilmu agama kepada anak-anaknya.

Hari-hari pertama ketika orang tuaku mulai meninggalkanku dalam lingkup asrama, serasa tidak ada lagi tempat untuk nguyel-uyel dan gangguin kedua orang tua ketika malam tiba. Semua begitu terasa asing bagiku. Makan malam pertama akhirnya kujalani dengan aras-arasen, harus mengantri dengan membawa nampan dari besi yang sudah tercetak tempat-tempat untuk nasi dan lauk pauknya. Ketika hendak mengambil tempat duduk, ada satu wajah yang agaknya familiar disebuah bangku dan mengajakku untuk bergabung, ternyata kita pernah bertemu sewaktu proses pendaftaran masuk asrama ini. Namanya Nur Ilmi, dia berasal dari Pekanbaru, dan dialah orang pertama yang kukenal di Assalaam.

Hingga malam itu Rayon 2 masih terasa rame dengan obrolan berbagai bahasa daerah dan suasana haru. Ada yang sebagian orang tuanya belum meninggalkan anaknya, krena mungkin berasal dari luar jawa atau mungkin anaknya masih belum bisa ditinggal. Pastinya satu kamar yang berukuran kurang lebih 9x7 meter itu diisi sekitar 20 anak-anak kecil yang baru pertama kalinya mengenyam kemandirian tersebut masih terdengar celotehan anak-anak kecil yang bercerita tentang dirinya dan asal daerahnya dengan antuisiasnya. Kamarku sendiri bernomor 20, yang lebih terkenal dengan sebutan KPA 20 (Kamal Putera 20).

Dalam satu kamar tersebut kami duduk di kelas yang berbeda-beda, dan tentunya kelas kamipun berbeda dikarenakan hasil proses perankingan test masuk waktu itu. Aku sendiri berada di kelas 1 i, dengan wali kelas Ust. QOmaruddin, salah satu Ust. ternyentrik dan modis yang ada di Assalaam waktu itu bahkan hingga sekarang mungkin. Kefasihannya dalam melafalkan lafadz Arab dan Inggris menjadikannya terkenal dengan sebutan Mr. Moon. Kelas Ii ini berada tepat dipojokan kopel kelas-kelas lain dan berdekatan dengan kamar mandi dipojokan, sehingga terkadang ketika kami sedang belajar dengan konsentrasi penuh, sesekali tercium aroma-aroma yang membuat kami saling toleh. Dan dikelas inilah telah terjadi perubahan besar terhadap diriku. Hari-hari pertama aku berada di asrama teman-teman masih memanggilku dengan panggilan nama kecilku, Aziz. Namun ketika Mr. Moon mulai mengabsen dan menyebutkan namaku, maka beliau bertanya padaku "Kamal Abdul Aziz, mau dipanggil apa ini, Kamal atau Aziz?". Mungkin ada keraguan dalam diriku untuk mengganti nama kecilku, namun dengan keyakinan Mr. Moon mengatakan panggilan 'kamal' sepertinya lebih mantap, dan akupun mengiyakannya. Maka sejak hari itulah nama panggilanku berubaha menjadi 'kamal.

Hari berganti dan waktupun berlalu. Kesibukan belajar di kelas telah melupakanku akan kesendirian yang pernah aku takutkan, dan perkenalan dengan teman-teman baru telah membuatku sedikit dapat menikmati indahnya hidup dalam suatu lingkungan yang memiliki satu perasaan yang sama, jauh dari orang tua. Pagi hingga siang kami habiskan waktu di kelas dengan puluhan mata pelajaran yang masih sangat asing bagi otakku. Sore hari kami nikmati kebahagaian sebagai anak sesama umur dengan bermain-main di lapangan atau hanya sekedar mengobrol di taman-taman. Dan malam kami isi dengan belajar di kelas-kelas dan masjid hingga pukul 9 malam dan selanjutnya di kamar kami diberikan tambahain ilmu bahasa arab dan inggris yang biasa kami sebut dengan tasyji'ul lughoh. Hingga saat ini aku bisa sedikit berbicara dengan bahasa arab dan Inggris meski tanpa pernah mengikuti kursus-kursus, kesemuanya akau pelajari sembari berpraktek di asrama.

Tasji'ul lughoh merupakan budaya tersendiri yang terbentuk dalam lingkup asrama. Maksud budaya di sini adalah proses pembelajaran yang turun temurun dengan metode yang sama yang telah dipraktekkan generasi sebelumnya dan telah memberikan hasil yang luar biasa. karena kami masih anak-anak baru dan belum mengerti tentang bahasa arab, maka yang menjadi pembimbing bahasa waktu itu adalah kakak kelas kami kelas 2 dan sebagai pembimbing kamar adalah kakak kelas 4. Metode yang menurutku cukup simple untuk diterapkan dalam proses belajar bahasa asing. Setiap malam setelah belajar di kelas, kami disuguhkan beberapa kosa-kata Arab dan Inggris untuk kemudian harus dihafalkan malam selanjutnya, dan jika dimalam pengulangan tersebut kami tidak dapat menghafal dengan baik, maka ada semacam hukuman atau iqob yang harus kami terima. ntah itu berupa push up atau pun diminta untuk menyapu kamar setelah acara itu selesai.

Begitu tasyji'ul lughoh selesai, kamipun langsung menurunkan satu persatu tumpukan kasur yang berjumlah sebanyak penghuni kamar tersebut, yang tingginya bisa mencapai 1,5 meter. Kamipun langsung berebut mencari tempat yang enak atau mencari temen ngobrol tidur yang sesuai. Terkadang ada yang karena kasurnya agak bawah maka dia terlambat untuk mengambil kasurnya dan pada akhirnya harus menempatkan kasurnya di deket tempat ember atau pakaian kotor yang mungkin agak sedikit merasakan aroma 'wangi'. Sangat seru untuk dibayangkan situasi malam itu, sekumpulan anak-anak kecil yang menyeret-nyeret kasurnya dan berusaha mencari-cari bantal dan gulingnya diantara banyaknya bantal dan guling yang ada.

Tepat jam 04.00, suara sirine panjang dan keras membangunkan kami dari mimpi-mimpi yang ntah berantah. Merupakan suasana yang kurang mengenakkan, karena harus merubah kebiasaan sewaktu di rumah dengan kebiasaan baru yang berbeda 180 derajat. Setiap pagi suasan riuh bergemuruh di lorong koridor rayon. Anak-anak yang baru terbangun berusaha mencari-cari sandalnya masing-masing yang ditempatkan di rak sepatu usang karena sudah bertahun-tahun turun temurun dari beberapa generasi sebelumnya tidak pernah diganti. Suara-suara sandal yang dibanting oleh anak-anak tersebut ketika hendak memakainya diujung koridor juga suara khas yang tidak pernah kita dengar dimanapun, 'cepal' 'ceplok' 'plak', bunyi yang timbul tergantung dari jenis sandal masing-masing anak. Kemudian kami segera menuju lorong kamar mandi yang jumlahnya puluhan berjejer dengan warna merah gelap yang terkadang di malam hari membuat bulu kuduk ini merinding untuk melewatinya. karena disini banyak cerita-cerita yang nyata atau sengaja dibuat oleh kakak.-kakak kelas untuk menakut-nakuti anak baru. Selain kamar mandi yang berjejar dengan atap tertutup, disebelahnya juga terdapat Reservoir, semacam tempat penampungan air dan juga tempat untuk mencuci pakaian beserta jemurannya yang cukup luas. Di Reservoir ini juga terdapat petak-petak tempat untuk mandi tanpa atap dan tanpa pintu. Jadi seandainya kita ingin mandi maka harus membawa sarung atau handuk yang besar yang dapat dijadikan sebagai penutup pintunya. Terdapat kabel kawat sepanjang petak-petak mandi itu yang funsinya untuk menggantungkan handuk ataupun sarung yang dijadikan penutup.



Berlin, 22.39 06062010


Sunday, May 16, 2010

Mati Lampu,,,Aduh Gelapnya....

Jaman rikolo semono, listrik mati pas musim hujan adalah hal biasa. Byar pet, bahasa kerennya. Tidak ada yang patut untuk disangsikan memang di desaku sana ketika hujan deras mengguyur, maka ayah selalu memperingatkan untuk menyiapkan senter dan lilin di meja makan agar mudah dijangkau ketika listrik benar-benar mati.

Bahkan tanpa dikomandopun aku dan abangku langsung sudah mengerti apa yang harus dilakukan jika hujan mengguyur 1 jam lewat. Artinya korek api suda ada di saku celanaku, dan tinggal 'jress' saja ketika seluruh kampung mulai gelap gulita.

Ketika jaman mulai agak maju, maka emergency lamp mulai berlaku di rumah, namun itu semua tidak berarti apa-apa karena suasana yang hening telah menghilangkan kebahagiaan dan kegembiraan yang sedang cair dalam ruang keluarga. Dan praktis ketika kami lelah menungu tanpa kepastian kapan listrik akan nyala kembali, masing-masing mulai berjalan ke peraduannya untuk beristirahat.

Lampu senter sempet menjadi thema utama dalam keluarga. Bahkan sampai-sampai karena aku tidak puas dengan senter kecil, akhirnya ayah membelikan senter yang cukup besar, semakin mantap untuk menyorot dalam kegelapan. Sewaktu kecil, senter bagi kami berdua memiliki arti yang cukup penting diantarnya untuk mencari capung setelah sholat magrib dan mancing belut di kali pada malam hari. Jadi ayah sangat paham untuk menghidupkan hobi putra-putranya.

Tidak selama senter dapat bekerja secara maksimal tiap saat, artinya kita harus mengecek lampunya apakah masih layak untuk diapakai ataukah batrenya yang sudah habis masa hidupnya? maka ayahpun punya alat khusus untuk mendeteksi hal ini, yaitu kabel kecil sepanjang 20 cm yang dijadikan alat untuk menguji kelayakan lampu dan baterai dari senter. Cara kerjanya sederhana, cukup lilitkan kabel ke lampu senter dan tempelkan sisi yang lain pada sisi positif dan negatif baterai, jika lampu menyala berarti baterai masih ada tenaga dan sebaliknya.

Dari percobaan di atas, ada pengalaman gila yang pernah kami berdua lakukan. Entahlah dengan pemikiran yang cukup sederhana dari dua orang anak kecil yang ingin mengetes sebuah lampu bolam apakah menyala atau tidak. dengan itu semua, maka kami meotong kabel yang cukup panjang sekitar 1 meter, dan melilitkan sisi yang satu ke lampu sedangkan kelupasan kabel satunya secara perlahan-lahan kami masukkan ke stopkontak, dan apa yang terjadi? Bolamnya tidak menyala, tapi malah seluruh rumah gelap gulita. Sebelum listriknya 'anjlok' ada suara letupan kecil yang muncul dari stopkontak dan keluar sedikit percikan api.

Setelah itu kami sempet berfikir, untuk nggak kesetrum ya... Bodohnya kami berdua..hehe. dan mungkin sampai sekarang ayah ibu tidak pernah tahu kenapa waktu itu listriknya bisa 'anjlok' karena memang kami tidak pernah memberitahukannya,,,hehe..

Kamal

Salam sayang untuk Ayah Ibu

20:26 17.05.2010


Tuesday, May 11, 2010

Jahit Menjahit

Bagi sebagian besar perempuan, kegiatan dondom mendondomi atau menjahit (bahasa kerennya) adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan terkadang menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri untuk bisa melakukan kegiatan ini. Boleh dibilang sepele, namun tentunya tidaklah boleh menyepelekan suatu kerjaan.

Dapat kita bayangkan seandainya seorang ibu rumah tangga masih kesulitan atau bahkan belum pernah sama sekali berlatih menjahit, sampai-sampai bingung harus bagaimana memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Dari pengalaman di lapangan, biasanya seorang ibumuda akan sering sekali melakukan kegiatan ini tentunya terjadi karena ia memiliki seorang bayi yang mana pakaiannya bayi atau balita sering kali terkoyak sedikit, namun sayang untuk sekedar menjadi lap dapur *pengalaman euy.. Maka tentunya keahlian dondom mendondomi adalah suatu keharusan yang sebaiknya dikuasai oleh seorang perempuan.

Namun ternyata tidak hanya perempuan saja yang boleh menguasai hal ini, para pria pun disarankun untuk dapat melakukannya meski tidak begitu sempurna. Tidak ada yang salah dengan memiliki kemampuan ini, bahkan akan menjadi nilai plus yang berbeda dengan lainnya. Memang menjahitkan baju yang sedikit koyak ataupun memotong celana yang kepanjangan lebih mudah dan praktis menyerahkannya kepada ahlinya, tukang jahit, tapi apakah selamanya kita akan bergantung pada tukang jahit? nah kalo tukang jahitnya libur sebulan? gmn jal? hahaha...

Untuk seseorang yang hidup dalam lingkungan yang serba mudah tentunya pilihan menyerahkan kepada ahlinya adalah pilihan utama, dan akan berbeda dengan seseorang yang hidup dalam lingkungan serba susah. Aku sendiri sedari kecil Alhamdulillah sudah mengenal akan budaya ini, karena secara langsung dapat melihat pengalaman dari Ibuku yang dahulu suka sekali memodifikasi pakaian dan bahkan sarung bantal. Aku sendiri punya pengalaman sungguh memilukan dengan proses modifikasi ini. Tentunya kita tahu petani, dengan celana modifikasi dari karung gandum mereka terlihat gagah berjalan di sawah, sehingga membuat diriku tertarik untuk memiliki celana aneh dari karung gandum ini *dasar aneh!!! dengan sedikit rengekan kecil kepada Ibuku, akhirnya beliaupun sanggup untuk memenuhi permintaanku membuat celana gandum...hohoho... sungguh itu menjadi kenangan yang tak terlupakan, bahkan aku bangga memakai celana itu karena berbeda dengan teman-teman lainnya.. uhuuuuuy...

Ketika memasuki bangku Sekolah Tingkat Pertama, ternyata ilmu ini sangat berguna bagiku yang mana aku harus hidup dalam asrama yang untuk sekedar keluar komplek aja sangat sulit, aalagi hanya dengan alasan untuk njahit koyakan kecil. Maka dengan coba-coba diumur yang relatif terbilang masih belia aku sanggup bertahan untuk melakukan hal ini sebaik mungkin meski terkadang masih terlihat jitetan-jitetan yang agak aneh dipakaianku tapi itu tak jadi masalah selama tidak terlihat memalukan,,,,hehehe

Tak disangka tak dinyana, ilmu itupun masih terpakai hingga saat ini, ketika aku bekerja di Jerman. Meski sempat agak malas-malasan, namun aku harus melakukannya karena yang koyak saat ini adalah celana stelan jas, jadi kalau aku tidak segera menambalnya, maka tentunya stelan tersebut akan terus menerus tidak terpakai. Dengan sedikit kemantapan, alhasil aku mampu melakukannya dengan sedikit sempurna, meski benang yang kupakai kurang cocok dengan celananya, untungnya hasilnya tidak terlihat perbedaan antara warna celana dan benangnya :D... Ya daripada harus keluar 10 euro untuk hal yang simple ini, tentunya malakukannya sendiri meski dengan keterbatasan adalah suatu hal yang patut diacungi jempol bukan? hehehe.. baginilah nasib anak perantauan yang masih bujangan... hohoho.. Semoga kemadirian ini dapat terwariskan kepada anak cucuku kelak sehingga mereka tidak terlalu pusing untuk menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Amin.

Berlin,
23.11 11.05.2010

Friday, May 7, 2010

Membudayakan Budaya Santun

Dahulu, sewaktu masih bekerja di Moratelindo, ada salah satu Direktur Operation yang membawahi Departemen Legal, merupakan lulusan perkapalan Jerman dan kemudian menikah dengan orang Belanda yang akhirnya menjadikan dia berkewarganegaraan Belanda. Dengan tampang yang bersih, beliau ketika jam kantor dimulai selalu menyapa semua orang yang ditemuinya setiap pagi dengan sapaan hangat 'selamat pagi'.

Agak janggal memang rasanya mendengar seseorang dengan kebiasaan seperti itu. Menyapa siapa saja yang ditemuinya di meja-meja ruang kantor. Aku sendiri belum terbiasa dengan hal ini. Namun lama kelamaan telingaku sudah agak terbiasa mendengar beliau menyapa tiap pagi. Ntahlah dari mana asalnya kebiasaan yang melekat itu, mungkin bisa dihitung jari di kantor ini yang terbiasa dengan kebiasaan itu.

Baru sekarang aku mulai menyadari asal dari kebiasaannya tersebut. Pergaulan dan gaya hidupnya yang sempat mengenyam pendidikan di Jermanlah yang menurutku menjadikan kebiasaan itu melekat padanya. Meski belum lama tinggal di Berlin, Ibu Kota Jerman, namun begitu bergaul dengan sebagian orang-orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sini, rasanya sapa menyapa menjadi hal yang biasa.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah tabiat orang Jerman sendiri yang selalu mengucapkan 'hallo' ketika bertemu atau berpapasan dengan seseorang meskipun keduanya tidak saling mengenal. Pernah suatu ketika aku berkunjung di apartemen seorang teman, ditangga aku bertemu dengan seorang anak kecil, yang aku sendiri merasa tidak perlu menyapanya, karena dalam pikiranku malah nanti dia akan takut dengaku kalau aku berusaha memeperhatikannya, tapi ternyata dugaanku salah bersar. Dengan kalemnya anak itu menyapaku 'hallo', meski dengan kaget kucoba untuk menjawab sapaannya dengan 'hallo' juga.

Mungkin bagi kita berucap 'terima kasih' juga belum begitu membudaya, paling-paling hanya kepada orang-orang tertentu kita akan berucap kata ini. Namun anda sungguh akan kaget ketika 'terima kasih' adalah bahasa wajib yang harus diucapkan kepada seseorang yang telah membantu kita, ntah itu tukang sampah yang mengambil isi bak sampah kita, penjual minuman atapun orang yang sekedar meberi jalan dipintu masuk suatu gedung.

Kebiasaan inipun pada akhirnya mulai menular kedalam perilakuku sehari-hari. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lepas dari mengucapkan 'terima kasih' kepada seseorang yang telah membantu meski hanya memberikan minuman ataupun memberikan kembalian uang recehan sewaktu aku berbelanja. Tentu tidak ada yang akan berkurang dari diri kita ketika kata itu terucap, bahkan rasa syukur sesungguhnya telah keluar lewat ucapan yang sederhana tersebut.

Satu lagi yang tak kalah penting adalah kata 'bitte'. Bitte yang dalam bahasa indonesia artinya silahkan/tolong selalu terucapa dari bibir-bibir orang Jerman ketika hendak memesan atau membeli sesuatu, semisal 'einmal kaffe bitte' (one coffee please). Adakah budaya seperti ini sudah mengakar dalam benak bangsa kita yang katanya berbudaya timur? aku rasa meskipun sepele namun kata-kata tersebut memiliki arti yang sangat hebat. Artinya dengan begitu kita berusaha menghargai seseorang meskipun ia seorang tukang sampah ataupun pelayan restoran.

Pada dasarnya tidak ada pekerjaan yang hina di dunia ini, tapi itu semua kemudian bergantung kepada cara suatu komunitas menghargai sesamanya. Ketika rasa menghargai dan membutuhkan dimunculkan maka rasa tepo seliro akan mulai berkembang dalam masyarakat. Mungkin juga budaya kemandirian orang Jerman menjadi salah satu dalil meunculnya sikap pengertian ini. Artinya ketika kemandirian dalam melakukan sudah menjadi kebiasaan, maka tentunya kita akan merasakan bagaimana melihat sesuatu dengan cara pandang orang lain. Mempersepsikan diri sendiri seolah-olah menjadi orang lain, sehingga dapat merasakan apa yang sebenarnya sedang orang lain rasakan.


Kamal
-Obrolan dengan Pak Ali dan Pak Awan-
00.14 08.05.2010

Thursday, May 6, 2010

Nasib Anak Kos

Rasanya malam ini terasa sepi sekali. Padahal tiap malam aku merasakan hal yang sama seperti ini. Ntahlah kenapa tiba-tiba begitu terasa kesepian ini ya,,,,aneh... hehehe
Kalo dulu sewaktu ngekos nyanyinya 'nasib anak kos' sulit makan, sulit jajan, serba sulit, makanya mending ngendon di kos-kosan aja, kalaupun jalan ya jalan-jalan ya paling muter-muter semarang, trus kalo lagi gila-gilaan ya nongkrong di pelabuhan Tanjung Mas malem-malem cuman ngeliat orang mancing sama ngeliat orang-orang bongkar muat barang dari kapal ke truk.. kegiatan yang aneh bukan? tapi aku menikmatinya... hehehe

Nah sekarang di Jerman nyanyinya apa ya?? hahaha,,, gak jauh beda kayaknya deh kaya jaman-jaman ngekos dulu, tetep aja menyepi di dalam kamar main game. baca-baca artikel.Ya kelebihannya sekarang cuman bisa internetan aja, jadi gak perlu ke warnet. Coba kalo gak ada wifi, bisa kaya hidup di tengah hutan beneran deh... daerah wisma ini udah cuman adanya komplek perumahan, jadinya ya mau apalagi kalo gak ngendon di kamar jal? hohoho

Ternyata perjuangan untuk hidup terus bergulir sesuai dengan waktu dan kapasitasnya. Sewaktu kuliah kita berjuang untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik dan kemudian dapat menyelesaikannya hingga wisuda. Begitu wisuda, maka jalan hidup ternyata belum berhenti, masih banyak jalan-jalan lain yang harus di planning untuk menyambung hidup ini. Mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diawal-awal bekerja adalah sesuatu yang terbilang tanpa arah, artinya belum terpikirkan untuk menabung guna kepentingan masa depan karena dengan gaji yang pas-pasan hanya dapat menolong diri sendiri untuk bertahan hidup agar terhindar dari belas kasihan orang lain.

Nah, mungkin tahun kedua kerja yang menurutku merupakan tahun-tahun tersulit. Dengan kondisi keuangan yang agak membaik, namun hanya dapat menyisihkan beberapa ratus ribu untuk bekal planning selanjutnya biaya pernikahan tentunya. Berpikir dan terus berpikir tentang hitungan karena sudah tidak mungkin lagi bagiku sebagai laki-laki untuk meminta belas kasihan orang tua guna membiayai kepentingan pribadiku sendiri. Ditambah lagi dengan pesan Ayah yang memang sudah tidak dapat membantu secara finansial pada kami.

Mungkin itu juga yang menjadi cambuk dan doa. Ternyata memang rejeki tidak kemana. Mau dicari dari kantor ke kantor juga gak akan dapat kalau memang belum waktunya. Berusaha melamar pekerjaan lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik ternyata selalu mentok di tengah jalan. Untung aku tidak terlalu ambil pusing dengan kegagalan-kegalan tersebut, sehingga tidak perlu berstres-stres ria. Bahkan tanpa diduga malah datang tawaran yang tak pernah dinyana-nyanya to.. Segala sesuatu selalu ada hikmahnya. Andai sewaktu melamar kemudian aku diterima di kantor yang baru, dan kemudian tak berapa lama datang tawaran ke Jerman ini, pasti sedikit sulit bagiku untuk memutuskannya, apalagi jika perusahaan yang baru tersebut mensyaratkan penalty bagi karyawan baru yang akan mengundurkan diri, wah pasti suruh bayar kan ya... hehehe.. Allah selalu lebih tahu yang terbaik untuk hambaNya. Jadi, tetaplah berusaha dengan sebaik mungkin, apapun yang akan terjadi sudah menjadi ketentuan dari Allah bahwa itu merupakan jalan terbaik yang harus kita jalani, jangan pernah menyesal dengan kegagalan yang kita alami, karena dibalik itu semua tersimpan rahasia Ilahi yang tidak kita mengerti. Bravo!

Berlin
23.21 06.05.2010

Monday, May 3, 2010

Memandang dengan kaca mata orang lain

Pernahkah kita dimitai tolong oleh orang lain?
Pernahkah kita meminta pertolongan orang lain?

Pertanyaan di atas tentunya akan kita jawab semuanya dengan jawaban 'iya, pernah'. Tulisan ini hanya pandanganku sebagai bagian dari milyaran manusia yang hidup di dunia ini, dan tepatnya seorang Kamal Abdul Aziz yang berasal dari pelosok desa di Kecamatan Weleri sana.

Dalam hidup bermasyarakat tolong menolong adalah hal yang lumrah terjadi, artinya kita tercipta sebagai makhluk sosial dengan ditambah lagi adanya budaya ewuh pekewuh yang melekat pada budaya ketimuran.

Pertanyaan selanjutnya,
Pernahkan kita menolong orang lain dengan keterpaksaan?
Pernahkan kita tidak puas dengan pertolongan orang lain?

Dan aku juga bisa pastikan jawaban kita tidak akan jauh beda dengan jawaban dari pertanyaan pertama 'iya, pernah'. Aku kira juga merupakan suatu kewajaran jika suatu waktu ada rekan kita membuthkan pertolongan, namun di sisi lain ada sesuatu yang mungkin juga sedang kita lakukan, atau mungkin kita tidak enakan apabila ada rekan yang membutuhkan pertolongan namun kita tidak menolongnya, yang artinya ada suatu keterpaksaan yang muncul dalam kondisi demikian. Patut dicermati, keterpaksaan yang terjadi sesungguhnya bukanlah keinginan dari diri sendiri, namun lebih kepada situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, sehingga menjadikan diri kita muncul rasa keterpaksaan. Keterpaksaan yang demikian menurutku dapatlah ditolelir dibandingkan seseorang yang ketika dimintai suatu pertolongan menghindarinya. Justifikasi terhadap keterpaksaan seseorang dalam menolong orang lain bahwa orang tersebut bersifat tidak terpuji tidak selayaknya kita sematkan, karena meskipun dengan keterpaksaan namun sejatinya seseorang tersebut telah melakukan suatu kebaikan. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya" (QS. Al Zalzalah:7)

Hal di atas merupakan bagian kecil dari kehidupan ini. Seandainya kita bisa menjadikan diri ini ikhlas dalam melakukan sesuatu orang lain baik dalam suka maupun duka, tentunya itu merupakan suatu kelebihan tersendiri yang sangat sulit untuk dibayar dengan apapun. Pernahkan kita memandang hidup ini dengan sudut pandang/kaca mata orang lain? sungguh sangat menarik untuk memposisikan diri kita sebagai orang lain ketika kita dihadapkan pada suatu kejadian tertentu. Dengan hal ini maka kita akan memiliki empati yang lebih baik lagi terhadap orang. Dan kitapun akan berandai-andai.. "seandainya aku dalam posisi seperti itu, bagaimana ya?" pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kemudian akan muncul dalam benak kita yang pada gilirannya akan muncul jiwa sosial yang lebih baik dari sebelumnya.

...bersambung....
---ngantuk---

Thursday, April 29, 2010

Herr Frans


Namanya Pak Frans Moningka, mungkin sekarang dia berumur sekitar 58 tahunan, ya gak begitu jauh dengan umur Ayahku, bahkan putri-putrinya sudah seumuran diriku semua. Dia adalah temen seperjalan ke kantor selama satu tahun terakhir dan akan terus menjadi teman seperjalan hingga tugasku di sini selesai. Dia duduk dibelakang kemudi, sedangkan aku duduk di sampingnya.

Begitulah Pak Frans, tugasnya sebagai driver Dubes sudah dijalani mungkin dua puluhan tahun, hampir 5 Dubes sudah dia bawa, jadi kemapuannya tidak diragukan lagi, baik dari segi cara mengendarai mobil atapun keamanan menjaga Dubesnya itu sendiri.

Dengan berbagai macam karakteristik seorang Dubes, maka bisa dibilang dia seorang yang mampu menangani berbagai bentuk persoalan yang biasanya selalu diperbincangkan di dalam mobil oleh seorang Dubes sebagai teman untuk ngobrol dalam perjalanan.

Banyak hal yang dapat kuambil selama ini dari dia. Sebagai seorang yang baru bisa nyetir tentunya aku selalu memperhatikan dia sewaktu mengendarai S500 maupun S350nya. Gaya dia menyetir terkadang terlihat sangat asik, dan aku cukup menikmatinya, meski terkadang dia terlihat agak cukup serius.

Dan yang paling aku kagumi adalah cara dia memperlakukan sebuah mobil. Kebersihan mobil baik luar maupun dalam adalah hal yang sangat penting bagi kenyamanan penumpangnya. Tidak banyak orang yang bisa telaten seperti dia yang mana tiap hari mobil yang kunaiki selalu terlihat kinclong. Bahkan ketika kucoba sendiri untuk membersihkan s500, eee.. malah belepotan di sana sini..hehehe..

Semoga saja akan banyak ilmu-ilmu lagi yang kudapatkan darinya. Dialah temen cerita setiap harinya, temen berbagi dalam suka dan duka. Apalagi kalau lagi nunggu Dubesnya ada acara, wah..sudah deh sambil liat tv di mobil cerita ngalor ngidul. Meski terpaut umur yang sangat jauh namun semoga itu semua tidak mengurangi profesionalisme kami dalam berpartner.. :)


08.17 29.04.2010
-menunggu kebebasan-

Monday, April 26, 2010

Dear Ayahku Tersayang....

Ayah,,,,
Apa kabarmu di sana?
Semoga sehat selalu, tak kurang suatu apapun
Kuberdoa selalu untuk kebaikan keluarga kita

Ayah,,,,
Waktu telah berlalu
sudah 33 tahun lebih engkau menjadi kepala rumah tangga kami
tapi hingga umur 55an aku belum melihat ada uban deh...
Apa rahasianya yah? gak make minyak rambut ya? hahaha... *i see..

Ayah,,,,
tak terasa waktu begitu cepat berlalu
dahulu kau ajarkan kami bermain catur
dahulu kau ajarkan kami memancing
dahulu kau ajarkan kami bermain pingpong *sampai-sampai beli mejanya
dahulu kau ajarkan kami badminton *sampai-sampai kau buatkan lapangan meski beralas tanah

Ayah,,,,
waktu terus berjalan tak kenal lelah
meski semakin hari kita terasa lelah
semoga semakin hari kita menjadi lebih baik dari sebelumnya
belaja belajar dan belajar dari kehidupan ini untuk menjadi lebih baik

Ayah,,,,
Masih ingat rasanya sore itu aku tidak berangkat sekolah sore *sekolah arab ya :)
dengan santainya aku bermain-main tanpa rasa bersalah
sore itu pula aku dipanggil dan ditanya mengapa tidak berangkat
meski tanpa kekerasan, tapi aku sungguh takut sekali
kau tak pernah marah kepada kami
komunikasi selalu menjadi alat yang engkau pergunakan

Ayah,,,,
Bagaimana rasanya mendidik anak-anakmu selama ini Yah?
apakah kau cukup puas dengan kami saat ini?
ataukah ada yang masih kurang dari kami?
berikanlah wejanganmu Yah,,,

Ayah,,,,
Aku juga masih ingat benar siang itu ketika abang bersiap wawancara kerja di jakarta
ketika ibu mengabarkan engkau berada di RS karena kecelakaan
dan kau hanya bilang cuman lecet-lecet sedikit
hampir saja aku tidak berangkat ke RS sore itu karena jauh
tapi rasanya ada yang lain dengan hari ini
maka aku bersama kakak dengan segala rasa yang berkecamuk di dalam bus
ingin segera sampai di RS dan melihat kondisimu

Ayah,,,,
Aku tak dapat bicara banyak sore itu
sungguh shock rasanya melihat apa yang sebenarnya terjadi
dengan kondisi seperti itu tapi kau masih menganggap itu hanya lecet biasa???
bahkan ibu akhirnya datang ke RS tanpa persiapan apa-apa *gak bawa duit ya bu :)
dan Abang harus tetap pergi meski dengan berat hati Yah...

Ayah,,,,
masih teringat jelas malam itu
aku duduk di sampingmu di kursi panjang ambulance itu
mendengar semua erangan kesakitan dari bibirmu
perjalanan dengan ambulance yang cukup jauh
lebih dari 5 jam kau menahan rasa sakit itu

Ayah,,,,
Kadang aku bingung denganmu
bagaimana engkau bisa tetap tersenyum dan bercanda
meski dengan kondisi kepayahan
meski dengan keadaan yang kekurangan
i proud of you yah...

Ayah,,,,
mungkin kami adalah anak-anak yang beruntung
memiliki sosok sepertimu
yang selalu mengajarkan semangat hidup
life is beautiful…

Ayah,,,,
bagimu hujan bukanlah suatu halangan
dan sekarang bagiku hujan adalah teman
tak ada yang perlu ditakuti dengan hujan
hujan tidaklah menjadi penghambat aktifitas kita kan Yah?
bahkan mungkin tiap hari kau pulang dengan jas hujan masih melekat di badan

Ayah,,,,
mungkin tak akan cukup waktuku untuk menuliskan semuanya
tentang perjalanan hidup kita
tentang kenangan-kenangan yang selalu membekas
tentang indahnya hidup ini dalam keluarga kita

Ayah,,,,
sang waktu tak pernah menengok kita
Saat ini, 60 tahun sudah kau jalani kehidupan ini
perjalanan hidup yang sungguh tak mudah bagimu
Tapi sungguh kau menikmati setiap detiknya hingga saat ini *Alhamdulillah ya…

Ayah,,,,
waktu kita terlampau sedikit
jatah kita terus saja berkurang setiap detiknya
kami akan senantiasa berdoa untukmu dan untuk ibu
Semoga kami dapat menjadi anak yang sholeh
agar menjadi amalan yang tak putus bagimu dan ibu

Salam sayang dari Berlin
Anakmu paling Nakal.. hehehe
00.01 27.04.2010