Wednesday, March 10, 2010

Ada Cinta di Setiap Binar Tatap Matanya 1

Oleh: Farid Anggara Soeratman
Memory Reuni MTs Assalaam 1998 Tanggal 27-28 Februari 2010

Tujuh puluh dua jam berkumpul dalam satu kegiatan mungkin bisa jadi neraka bagi sebagian orang. Tapi apa yang saya rasakan beberapa waktu lalu sama sekali jauh dari bayangan menyeramkan itu. Ada rasa yang tidak bisa sepenuhnya diceritakan. Ada benih-benih cinta tumbuh yang juga sepenuhnya tidak bisa diungkapkan. Setelah 12 tahun tidak bertemu, perasaan sedu sedan sama sekali tak terasa. Yang ada hanyalah bahagia dan sejumput keharuan.

Bukan. Ini bukan sekadar perasaan sentimentil anak muda. Juga bukan sekadar cerita gombal tentang cinta bersemi masa SMA yang cukup bisa terhibur hanya dengan sebaris tulisan salam. Perasaan ini bahkan jauh lebih eksotis dibanding menatap dalam-dalam binar mata indah Een Wahyu Riscawati. Jauh lebih heboh dibanding saat mendengarkan celotehan riang tanpa henti Ika Lufitasari. Lebih. Lebih dari itu.

Apa yang saya rasakan saat itu adalah perasaan bahagia karena bisa menyambung tali silaturahim setelah terpisah oleh jarak dan waktu selama belasan tahun. Perasaan bahagia karena adanya kesempatan untuk menengok kembali satu masa di mana saya dan puluhan teman-teman masih menyusun cita-cita. Dan tentunya perasaan bahagia karena kami semua masih diberi umur untuk mengulang kembali tingkah polah masa "kanak-kanak" di tengah usia yang terus bertambah, dahi yang kian melebar, dan perut yang semakin membuncit.

Sama sekali tidak ada yang terasa seperti neraka. Bahkan, rentang waktu 72 jam yang sudah dilalui itu bisa dianggap sebagai satu fragmen dalam kehidupan saya dan teman-teman, untuk mengenang masa lalu beserta seluruh suka cita dan haru birunya. Saat kami masih teronggok di bangku Madrasah Tsanawiyah, di sebuah kota nun jauh di sana: Sukoharjo.

***

"Siapa nama lo?"

"Lila. Lila Indriana," jawab seorang wanita berwajah keibuan kepada saya di suatu malam. Dan saya hanya manggut-manggut. Terus terang, saya tidak pernah mengenal wanita ini sebelumnya, walaupun katanya, ia termasuk alumni Madrasah Tsanawiyah Assalaam angkatan 1998. Sama seperti saya.

Lila duduk bersandar pada dinding gedung utama Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jl. Menteng Raya 62, Jakarta. Matanya tampak sangat lelah. Dari cerita yang saya dengar, ia memang baru saja menempuh perjalanan dengan kereta ekonomi dari Jogja ke Jakarta bersama teman-teman lain yang berdomisili di Jogja dan Semarang. Lila satu-satunya perempuan di antara rombongan itu. Sementara teman-teman alumni yang lain adalah M. Iqbal yang memiliki wajah sekilas seperti aktor Gary Iskak, M. Irfan Ash-Shiddiq yang sering dijuluki "Profesor" karena kepiawaiannya mengutak-atik komputer, Fajar Hanif Wirawan si pengusaha penerbitan, Kurniawan Ari juragan sapi, Septembriano Hilal --yang malam itu tidak nampak batang hidungnya karena mengencani kekasih baru yang kebetulan berdomisili di Jakarta--, dan tentunya Ari "Brutu" Prabowo --sahabat sekaligus partner bermaksiat saya selama mengenyam pendidikan di Jogjakarta-. Tak usahlah berlama-lama menanyakan bagaimana suasana perjalanan dengan menggunakan kereta itu. Mendengarkan nama "kereta ekonomi" saja, kepala saya sudah bisa membayangkan keadaan sumpek, aroma bau pesing, dan udara pengap pada tiap-tiap gerbongnya.

Dan di teras gedung yang tidak seberapa luas ini, untuk mengusir rasa penat, Lila seperti sengaja menghabiskan waktu bersenda gurau dengan seorang wanita lain di sampingnya. Seorang wanita berwajah cukup manis dan lucu, yang tak henti-hentinya menarik perhatian mata saya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di pelataran kantor ormas Islam ini. Iim panggilannya. Tapi saya lebih suka menyebut nama lengkapnya yang indah saja. Neimah Baidani. Seorang putri Solo yang selama beberapa tahun ini telah berdomisili di Jakarta.

Neimah bermata bulat. Berpipi tembam. Dan berhidung mancung. Kawat behel yang melapis di deretan giginya, menambah kesan lucu di saat ia sedang tersenyum. Saat itu Neimah mengenakan setelan pakaian dengan dominasi warna coklat yang serasi dari kerudung hingga celana panjangnya. Dengan penampilannya yang sesederhana itu saja, rasanya saya sudah cukup terpesona hingga terus berusaha mencuri-curi pandang, melirik dirinya selama kurang lebih setengah jam. Ah, saya jadi membayangkan, andai saja dia tampil dengan gaya yang lebih perlente, bisa-bisa saya malah berharap lebih dan coba-coba ingin mengajaknya nonton bioskop, makan malam bersama di Sushi Groove, mendatangi kosnya, menelpon setiap waktu, atau hanya sekadar menggendongnya ke mana-mana. Tapi ya sudahlah. Saya tidak mau berkhayal terlalu muluk. Khawatir. Takut Si Dia yang sedang menunggu di rumah jadi bisa marah-marah. :)

Saat itu Jumat malam, tanggal 26 Februari 2010. Jarum jam menunjuk di sekitar angka 9. Hari Eko Purwanto (Harkop), seorang sahabat yang menjadi penanggung jawab acara, tampak sibuk bukan kepalang. Telepon genggamnya berdering terus. Ia memang tengah bersiaga menunggu kedatangan rombongan yang lain. Tapi tugasnya tak cukup sampai di situ. Harkop merasa mesti menjamu teman-teman yang sudah datang dengan layak. Maka, karpet pun digelarnya di teras gedung utama. Begitu juga dengan beberapa cangkir kopi. Hebatnya lagi, ia juga sudah menyediakan salah satu mess di gedung itu untuk dijadikan penginapan bagi teman-teman luar kota. Usut punya usut, ternyata Harkop adalah seorang karyawan di salah satu divisi dalam organisasi yang saat ini kepemimpinannya dipegang oleh Din Syamsudin itu. Wajar jika ia memiliki akses yang cukup lapang untuk menggunakan sedikit fasilitas kantornya. Bahkan, untuk mobilisasi kami semua, Harkop pun tak segan-segan memakai salah satu mobil dinas berwarna jingga mentereng. Mantap!

Untunglah dalam menjalankan tugas sebagai penanggung jawab acara, Harkop tidak sendiri. Ia turut dibantu oleh Imam Yuli Marsanto, Latifah Zulaikha, Neimah, dan Een Wahyu Riscawati (si mata indah itu). Setidaknya, beban yang harus ditanggung Harkop jadi berkurang. Dan saya sama sekali tidak merasa kecewa dengan segala macam urusan yang mereka kerjakan. Mereka berhasil menjamu kami semua dengan sederhana, namun mengesankan.

Akhirnya, teman-teman lain yang sedari tadi ditunggu mulai berdatangan menjelang tengah malam. Rahmat "JP" Hidayat dengan pasangannya Aliq Fuadah (eks ketua OPPPMIA Putri periode 99-00), Hari "Kasino" Athourrahman, dan Zaqiah Mambaul Hikmah (ketua 2 angkatan putri legendaris yang menempati urutan absen paling akhir dalam daftar absen kelas 3A Madrasah Tsanawiyah) memasuki pelataran gedung dengan sebuah sedan tua plat AB bermodifikasi. Isa Surya Negara menyusul kemudian. Dirasa masih kurang meriah, kami menelpon beberapa rekan alumni lain yang sudah berdomisili di Jakarta untuk meramaikan acara penyambutan malam hari itu. Tidak lama, Ika Lufitasari (Lupe), Nurina Nafilla (Ila), dan Purbani Kumasafi tiba. Obrolan demi obrolan bergulir semakin panas. Maksiat berjamaah pun dimulai!

***

Di tengah Taman Menteng yang remang-remang dan semakin gelap saat lewat tengah malam, memang agak sulit bagi kami untuk menentukan kegiatan macam apa yang asyik dilakukan. Suasana temaram yang dikelilingi lampu-lampu taman berwarna kuning, rumput-rumput yang terhampar, dan bangku-bangku di sudut gelap menurut saya lebih pas bila dimanfaatkan oleh pasangan muda yang tengah dimabuk cinta. Bukan kami. Yang saat itu lebih terpengaruh oleh cerita dan gosip seputar asmara masa lalu.

Setelah berjalan-jalan tanpa tujuan selama beberapa menit, kami pun duduk berderet di atas konblok. Tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Untuk sementara, saya hanya mendengarkan celoteh Lupe dengan Brutu dan Iqbal yang sesekali diiringi derai tawa terbahak-bahak kami semua. Sebenarnya, saya sendiri tidak terlalu paham tentang tema pembicaraan mereka. Hanya saja, gaya berbicara mereka satu sama lain yang begitu njawani dan lugu membuat saya jadi benar-benar tak kuasa menahan tawa. Di tengah-tengah obrolan yang begitu ramai, kawan kami yang lain, Nur Sya'bani Arief (Bantenk) datang bergabung.

Jengah berurusan dengan gosip-gosip, kami mulai coba memainkan sebuah game. Brutu mengusulkan agar kami bermain Truth or Dare saja. Sebuah permainan di mana kejujuran, keterbukaan, dan sedikit aib ditelanjangi untuk kesenangan. Tapi sepertinya, permainan itu tidak berjalan terlalu mulus. Misalnya seperti saat Een ditanyai tentang jumlah teman-teman pria angkatan kami yang berusaha mendekati dan menyatakan cintanya. Kami betul-betul antusias untuk mendengarkan jawaban Een. Namun, Si Mungil Cantik itu hanya diam seribu bahasa. Dan kami pun harus puas dengan rasa penasaran yang terus berkecamuk dalam dada. Menyebalkan!

Mungkin, kami memang bukan orang Barat yang belum terlalu bisa menerima keterbukaan. Yang belum terlalu bisa bicara apa adanya. Yang terkadang masih malu untuk mengungkapkan sebuah kebenaran. Bagi saya, itu tidaklah mengapa. Di sisi lain, saya juga setuju dengan pendapat seseorang yang mengatakan bahwa wanita biarlah menjadi wanita. Yang tetap terbungkus dengan berjuta rahasianya. Karena, rahasia-rahasia itulah yang membuat para lelaki penasaran. Terus mengejar, mencari tahu, apa yang tersembunyi di balik senyum manis bibirnya. Mungkin, itulah alasan Een tetap bersikeras tidak mau berkomentar apa-apa menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang Brutu lontarkan. Dan saya cukup memahaminya.

Bosan di Taman Menteng, kami pun beranjak menuju tempat tongkrongan lain: Roti Bakar Eddy. Waktu itu, langit menunjukkan bahwa malam sudah berganti menjadi dini hari. Di tempat ini mulai jelas terlihat bahwa tenaga kami semua mulai terkuras.

Sekitar pukul setengah tiga, kami pun membubarkan diri. Sebagian besar teman-teman pria kembali menuju Pusat Dakwah Muhammadiyah. Saya sendiri pulang ke rumah. Sementara yang wanita menuju ke rumah Ila, untuk bermalam. Mempersiapkan stamina untuk acara inti yang akan berlangsung pada keesokan hari.

***
(bersambung)

No comments: