Tuesday, March 20, 2007

Pesan Terakhir Bagi Generasi Muda Indonesia



Koesnadi Hardjasoemantri

Pengantar;

Sebelum meninggal Lapera memiliki rencana untuk menyusun biografi Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri. Belum sempat kami menuntaskan wawancara untuk keperluan penulisan tersebut, rupanya Tuhan berkehendak lain. Berikut adalah sebagian narasi wawancara sebagai surat terbuka hasil dari wawancara dengan Prof. Koesnadi untuk keperluan penulisan biografi tersebut;

Setiap manusia pasti memiliki pengalaman yang membekas dalam hidupnya, apalagi bagi generasi yang sudah berada di ujung perjalanan seperti saya. Orang tua seperti saya yang dimiliki adalah masa lalu, sedangkan angkatan muda yang dimiliki adalah masa depan. Harapan, begitu psikolog perkembangan berkata untuk menunjuk pada satu tenaga yang luar biasa dari angkatan muda. Bukan berarti orang tua seperti saya tidak punya harapan, justru banyak harapan yang sedang ada dalam hati saya saat ini, salah satunya harapan terhadap angkatan muda. Harapan untuk terus memperbaiki nasib bangsanya yang telah diperjuangkan untuk merdeka. Barangkali banyak orang berkata bahwa saat sekarang lebih baik dari zaman kolonial atau revolusi dulu, karena jalan dan kendaraan sudah sedemikian lancarnya, teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya.

Namun bagi negara-negara maju barangkali melihat bangsa ini sangat kasihan karena kemiskinan dan keterbelakangan rakyatnya. Karena sekarang harga-harga melambung tinggi, sekolah mahal, rumah sakit mahal, banyak pengangguran, dan lain sebagainya. Kemudian pertanyaannya: kalau begitu apa makna kemerdekaan yang sesungguhnya kalau toh kemudian rakyat tetap menderita? Apakah semata-mata hanya persoalan harga diri sebagai bangsa yang tidak sudi diperintah bangsa lain? Atau juga menyangkut kesejahteraan rakyatnya lahir dan batin? Bagi bangsa yang baru 62 tahun merdeka, semuanya itu masih menjadi teka-teki yang sangat sulit dipecahkan. Untuk itulah harapan kepada generasi muda saya berikan agar teka-teki tersebut terpecahkan, bukan hanya merdeka secara dalam arti politik, tetapi juga merdeka yang sebenar-benarnya. Tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada lagi orang kesulitan sekolah karena biaya mahal, tidak ada lagi anak-anak sekolah di bawah jembatan tol sementara para pejabat biasa
lewat diatasnya, tidak ada lagi orang gantung diri karena kemiskinannya, dan tidak ada lagi penderitaan lainnya.

Kalau ada orang ketemu saya pada usia ke 80, barangkali tidak akan percaya kalau saya ini dulunya adalah guru tari sampai saya kelas menengah tinggi. Barangkali orang akan berpikir “ah mana mungkin, wong bergerak saja lambat begitu, menjadi guru tari”. Boleh saja tidak percaya pada saya mengenai kemampuan menari, tetapi kenyataannya memang demikian. Bapak saya adalah mentor dari seniman di Tatar Sunda. Bahkan pernah menjabat ketua Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional [BMKN]. Saya sejak kecil telah diperkenalkan dengan berbagai kesenian terbaik dari tanah Sunda, dan saya belajar tari pada seorang guru tari terbaik di tanah Sunda. Masalahnya bukan hanya mengenai kemampuan menari, tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya kecintaan saya terhadap kebudayaan, khususnya kebudayaan rakyat. Setelah saya menjadi mahasiswa, Rektor, Atase Kebudayaan di Belanda, sampai sekarang saya menjadi ketua Akademi Jakarta, didarah daging saya mengalir jiwa kesenian. Kecintaan saya terhadap kesenian tidak bisa dibendung oleh siapapun, karena bagi saya kesenian adalah nafas kehidupan. Orang yang mengenal kesenian dia akan tumbuh menjadi orang yang toleran, karena dalam kesenian ada perlambang kehidupan. Perbedaan sangat dihargai dalam kesenian, karena dengan perbedaan itulah kesenian tumbuh. Bahkan dalam seni baris-berbarispun ada bermacam-macam ekspresi. Saya sangat kagum pada pekerja-pekerja seni di Prambanan atau Tutup Ngisor Magelang, filosofi mereka adalah matipun kalau bisa di panggung. Betapa totalitas menjadi makna dalam mereka berkesenian.

Juga mengenai pendidikan. Ketika saya mendengar di Solok dibentuk Kepanduan Rakyat Indonesia pada Desember 1945, segera di Jakarta saya membentuknya juga pada bulan Januari 1946 dengan membuat bendera dan simbol sendiri. Karena di kepanduanlah orang diperkenalkan pada nilai-nilai kecintaan terhadap sesama. Ketika saya di daerah gerilya sebagai Komandan Tentara Pelajar [TP] Front I Banjarnegara, kami mengajar anak-anak yang tidak sekolah di daerah gerilya supaya mereka tetap dapat belajar. Setelah saya di UGM, saya dan teman-teman membuat program Pengerahan Tenaga Mengajar [PTM] sebagai wujud keprihatinan terhadap keadaan pendidikan di luar Jawa. Ketika awal-awal program tersebut ditawarkan kepada mahasiswa, tidak ada yang berminat mendaftar jadi guru di luar Jawa. Akhirnya saya dengan beberapa kawan kawan sesama mahasiswa berangkat sendiri keluar Jawa untuk memulainya sebagai tenaga pengajar, dan saya memilih Kupang sebagai wilayah paling timur dari program tersebut untuk memulainya. Ini semua membuat kecintaan saya terhadap pendidikan sangat dalam. Kalau saya melihat bagaimana sistem pendidikan sekarang dilaksanakan, saya rasanya sedih sekali. Anak didik sekarang stress dibebani berbagai macam tugas, sehingga ketika dia berangkat sekolah bukannya dengan riang gembira tetapi dengan beban. Di sekolah dia hanya menunggu bel pulang sekolah, begitu setiap hari.

Demikian juga mengenai Kuliah Kerja Nyata [KKN], barangkali hanya sedikit orang yang tahu dari mana saya mendapatkan gagasan mengenai KKN. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga saya yang Pengreh Praja, saya sebenarnya masuk jajaran elit keluarga pada strata kolonialisme, maka orang akan mengira bahwa saya akan tumbuh menjadi pribadi yang feodal. Saya yang memiliki gagasan mengenai KKN tersebut sering merasa risau dengan pelaksanaannya sekarang, dimana KKN hanya sekedar formalitas akademik. Padahal saya mencetuskan gagasan KKN berdasarkan pengalaman pribadi saya di mana saya banyak dibantu oleh rakyat, khususnya ketika saya gerilya di pedalaman Jawa Tengah. Tanpa rakyat saya sudah mati ditembak tentara Belanda. Saya banyak ditolong oleh rakyat sekalipun mereka hidup dalam kesulitan, tetapi betapa mereka sangat baik pada kami gerilyawan yang mempertahankan kemerdekaan republik yang masih sangat muda. Kecintaan saya pada rakyat tidak main-main, semua karena pengalaman saya sewaktu hidup, makan, tidur bersama rakyat dalam revolusi fisik. Merekalah gerilyawan yang sesungguhnya. Ini yang mencetuskan gagasan mengenai KKN. Bahwa kita jangan meninggalkan rakyat, sekalipun kita sudah berada dalam wilayah kehidupan yang berbeda. Dulu ketika jaman saya menjabat Rektor UGM, KKN itu masuk dalam Repelita jadi ada dukungan keuangan dari negara. Namun tiba-tiba saja dukungan tersebut di cabut. Saya sebagai rektor tetap mempertahankan KKN dengan cara membuat tabungan KKN. Kalau mahasiswa membayar biaya KKN dalam satu kali sekaligus terasa berat, maka saya membuat mereka menabung setiap semester yang dibayarkan bersama SPP. Kalau universitas lain begitu dukungan KKN hilang, maka kemudian juga program KKN tidak dilanjutkan. Bagi saya tidak, harus tetap melanjutkan program ini untuk melatih mahasiswa mengenal dan mencintai rakyatnya. Kalau mereka menjadi sarjana jangan sampai mereka meninggalkan rakyat.

Kadang-kadang saya terharu kalau diadakan pertemuan teman-teman, khususnya eks gerilyawan Tentara Pelajar [TP]. Mereka umumnya sudah tua-tua, dan setiap bertemu pasti jumlahnya berkurang karena meninggal. Mereka merasa orang yang tersingkir dari pergaulan bangsanya. Sering mereka bertanya pada saya, “Apa yang dapat saya sumbangkan untuk bangsa ini sementara saya sudah renta begini?” Saya jawab supaya mereka berbuat sesuatu bagi lingkungan terdekatnya. Mereka kan anggota masyarakat, mereka bisa saja memberi nasehat supaya orang toleran. Barangkali mereka berpikir bahwa dulu berjuang bukan untuk melihat bangsanya seperti ini, tersekat-sekat oleh berbagai kepentingan sempit. Tapi itulah, kadangkala kita punya harapan yang berbeda dengan kenyataan. Saya sendiri bersyukur masih dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan dalam organisasi. Ini anugerah yang luar biasa bagi saya secara pribadi.

Saya sendiri masih diberi usia yang cukup panjang untuk ukuran orang Indonesia, 80 tahun. Walaupun beberapa kali saya hampir tertembak oleh musuh dalam beberapa kali kesempatan bentrok senjata waktu jaman revolusi, namun Alhamdulillah saya sampai sekarang masih sehat. Saya percaya bahwa kematian itu adalah milik Yang Kuasa. Tiga kali saya merasakan bahwa nyawa saya bisa saja melayang, namun karena kuasaNya semua tidak terjadi pada saya. Untuk itulah saya tahu ada kekuasaan diluar nalar sebagai manusia.

Saya adalah bagian dari manusia Indonesia yang memiliki pengalamannya sendiri. Mempelajari sebuah bangsa pada hakekatnya juga mempelajari manusianya, karena bangsa itu terbentuk dari imajinasi manusia yang hidup di dalamnya. Karena saya lahir lebih dulu, supaya bangsa ini memiliki ingatan tentang dirinya sendiri kiranya perlu untuk menuliskan salah satu perjalanan hidup manusia yang tinggal di dalamnya.

Sebagai manusia kiranya rasa syukur perlu senantiasa dipanjatkan terhadap Sang Pencipta. Tentu rasa syukur tidak terhingga saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengaruniakan umur yang panjang untuk ukuran orang Indonesia yang disertai dengan kesehatan. Banyak orang mengatakan bahwa ketahanan fisik saya sampai sekarang tetap prima walaupun sudah 80 tahun, ini semua hanya semata-mata dari-Nya. Bagi saya kalau masih diberi kesempatan untuk tetap menghirup nafas maka berarti kewajiban untuk mengabdi masih tersedia. Untuk itulah saya selalu mengucapkan syukur atas segala sesuatu yang terjadi pada tubuh yang semakin renta ini.

Tentu saja saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah mewarnai hidup saya sepanjang usia saya. Sangat banyak seandainya disebutkan nama-nama yang begitu baik, untuk itu saya tidak akan menyebutkannya satu namapun. Sebagai makhluk sosial sudah sepantasnya kita bergaul, bekerja bersama dan memberikan kepercayaan kepada setiap manusia. Disitulah hakekat kemanusiaan menurut saya, manusia yang tidak dapat hidup sendiri dalam keterasingan.


Dinarasikan oleh Himawan Pambudi
Ketua LAPERA Indonesia
Pesan Terakhir Bagi Generasi Indonesia;

1 comment:

Anonymous said...

great! saya sebagai generasi muda masa kini merasa terharu sekaligus malu. cita-cita saya sejak kecil a/ ingin sekali memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan, tapi ga tau bagaimana caranya untuk memulai. dengan membaca pemikiran beliau, saya sadar bahwa hal besar tidak akan terjadi tanpa hal kecil. terima kasih.