Sunday, February 14, 2010

KEKALAHANKU

Hidupku sudah hampir menginjak waktu 27 tahun. Banyak hal yang telah terjadi silih beganti, baik dan buruk, menang dan kalah, semua selalu saja datang tanpa mengenal waktu. Kekalahan pertamaku terjadi waktu aku masih duduk di kelas TK kecil. Hanya kekalahan sebuah kekalahan kecil. Kekalahan dalam mengelola diri ini sehingga menjadi seorang yang tidak bisa menggerakkan badan untuk mengikuti irama musik 'Bukan Kolam Susu' yang menjadi theme song tarian waktu itu.

Aku hanya diam membisu. Tak bergerak sama sekali. Sesekali melihat sekeliling, memperhatikan teman-teman kecilku yang dengan indahnya bergerak kesana kemari dengan tawa renyahnya. Semua ini adalah latihan untuk sebuah penampilan gabungan yang bakal diadakan di alun-alun kota Kendal.

Lebih parahnya lagi, ketika puncak penampilan di alun-alun tersebut, aku tetap saja terdiam, membisu. Ditengah-tengah kegembiraan yang terjadi, diriku malah seakan-akan tersiksa. Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, memberitahu kepada khalayak ramai yang sedang asik memandangi anak-anaknya bahwa aku gak mau ikutan seperti ini, aku malu untuk bergerak-gerak dan bergoyang seperti ini. Tapi ternyata aku hanya membisu.

Protesku hanya berhenti ditenggorokan, tak sampai keluar menjadi suara lantang seperti waktu ikut orasi menjadi calon presiden BEM fakultasku. Dan tidak ada yang menggubris kediamanku, semua asik khusuk melihat anak-anaknya masing-masing, sementara aku berada ditengah-tengah lapangan. Matahari juga tidak secara otomatis mengucapkan belasungkawa, untuk mau sejenak menghilang dan menjadi awan mendung yang kemudian turun hujan lebat sehingga acara itu pasti akan dibubarkan. Ketika itu benar-benar terjadi pasti aku sangat gembira, riang tak terkira. Dan penduduk duniapun akan kaget, mereka pasti bertanya-tanya, ada apa ini? "Ooo ini ada anak TK yang tinggal di sebuah kampung di Pinggiran Kota Kendal sana, namanya Kamal Aziz sedang murung karena malu untuk ikut bergerak bersama teman-temannya di alun-alun sana."

Sungguh betapa gembiranya aku jika hal itu terjadi. Tapi nyatanya tidak. Matahari tetap saja menyinari alun-alun itu dengan teriknya. Pedagang es pun tetep berteriak 'es cendol es cendol' dengan gagahnya. Begitu juga dengan hansip-hansip yang berjaga juga tetap berdiri dengan tegapnya seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di tengah alun-alun sana. Jangankan menaruh iba kepada seorang Kamal, andainya acara di alun-alun itu ditiadakan, apa peduli mereka.

Pendek kata, sebetulnya tidak ada yang peduli dengan urusan kita, termasuk kekalahan, kemarahan, kejengkelan, kedengkian kita, kecuali diri kita sendiri. Kita terlalu serius pada urusan diri sendiri sementara orang lain juga pasti terlalu sibuk dengan urusan mereka. Maka menyangka bahwa mereka sibuk mengurus urusan kita termasuk kekalahan kita adalah sebuah kekeliruan. Tetapi keliru prasangka itulah yang diteruskan hingga hari ini.

Jika sebuah partai kalah, atau seorang caleg gagal misalnya, langit memang terasa runtuh. Tapi langit yang runtuh itu pasti cuma langit mereka. Langit yang asli masih baik-baik saja. Mereka merasa orang di seluruh dunia tengah menyorakinya. Padahal tidak. Jangankan untuk menyoraki, untuk menghafal nama-nama mereka saja warga dunia ini tak punya waktu. Tapi karena mereka menyangka kita semua ini tengah gembira melihat si kalah itu kecewa dan malu, tergeraklah si kekalahan itu untuk menyalahkan daftar pemilih bermasalah, mengobrak-abrik Kantor KPU sampai hendak memboikot hasil pemilu.

Padahal yang menyoraki kekalahan itu tidak ada. Kalau pun ada jumlahnya paling sedikit saja. Penyorak terbesar pasti diri kita sendiri. Untuk itulah kenapa kita butuh menyalahkan dunia seisinya untuk sakit hati atas kekalahan ini.


Salam dari Berlin,
12.25 14.02.2010

No comments: