Saturday, February 6, 2010

Temanku Seorang Tukang Parkir

Pengen ketawa sendiri rasanya. Habis baca blog tetangga tentang tukang parkir. Ternyata dimana-mana sama aja kelakuan tukang parkir terhadap pemilik kendaraan bermotor. Menurutnya dengan hanya bermodalkan rompi kuning dan peluit, tukang parkir dapat dengan seenaknya meminta uang kepada pemilik kendaraan bermotor yang nangkring di wilayahnya.

Tentunya ada benarnya juga yang disampaikan teman tersebut (mungkin karena ketidaktahuannya) tentang modal seorang tukang parkir hanya dengan rompi kuning dan peluit. Fenomena ini sekarang telah menjamur diberbagai pelosok daerah. Bahkan mungkin sekarang disepanjang jalan Hayam Wuruk UNDIP sana, ada mungkin sekitar 20an tukang parkir yang mematok tanah dipinggiran jalan Raya sebagai HMnya.

Sebagai seorang yang dilahirkan dan bergelut dalam lingkungan yang cukup berkekurangan, profesi tukang parkir tidaklah terasa aneh bagi saya pribadi, meskipun ada banyak pengalaman pribadi yang cukup tidak mengenakkan dengan tukang parkir juga seperti yang dialami teman pemilik blog sebelah. Di kampung saya, weleri,cukup tersohor bagi para sopir bus malam dan juga pedagang antar kota yang sering berlalu lalang melewati jalur pantura. Letaknya yang berada di simpang tiga Semarang - Jakarta dan Jogja - Jakarta menjadikan weleri kota kecil yang cukup maju dibandingkan dengan kecamatan lain di Kendal.

Di Desa saya, ada beberapa rekan yang telah menjalani profesinya sebagai tukang parkir. Saya juga pernah beranggapaan bahwa rekan tersebut tidak perlu bermodalkan materi untuk menjadi seorang tukang parkir, cukup kekuatan untuk bertahan disuasana terik dan mungkin juga keberanian untuk menghardik para pemilik kendaraan yang tidak mau memberikan uang parkirnya. Semua persangkaan saya terbantahkan sudah ketika dia bercerita bagaimana susahnya mencari pinjaman untuk membeli hak kepemilikan atas beberapa meter persegi lahan parkir untuknya. Saya tidak begitu tahu nominal yang harus dikeluarkan rekan tersebut, namun dari beberapa kali perbincangan saya dengan tukang parkir yang ada di Pasar Weleri, lahan parkir yang pada awal-awal berdirinya Pasar tersebut hanya cukup dibayar dengan uang sebesar 5 juta untuk beberapa meter persegi, saat ini telah naik beberapa lipat harganya.

Sungguh ironis apa yang terjadi di negeri ini. Tukang parkir sudah menjadi sebuah profesi tersendiri yang awalnya dibangun oleh kekuatan premanisme sebagai bagian dari mata pencaharian bagi para preman di kota-kota besar. Tukang parkir sendiri terkadang juga diartikan sebagai preman. Saya coba ketik keyword „Tukang Parkir dan Preman“ di search engine, dan ternyata memang kata tukang parkir selalu identik dengan premanisme. Bukan jasa parkir (penjagaan) yang mereka berikan, namun jasa sewa lahan bagi kendaraan yang berhenti dilokasinya.

Mungkin hal ihwal tukang parkir identik dengan preman hanya ada di kota-kota besar. Sepertinya di Weleri tukang parkir layaknya teman bagi saya, meski ada beberapa lokasi yang kadang membuat saya juga jengkel dengan tukang parkirnya. Bahkan terkadang ada juga yang tidak mau dikasih imbalan karena ternyata kenal dengan Ayah atau Ibu saya. Tapi untuk kesekian kalinya akhirnya harus saya paksa juga agar dia mau menerima imbalan dari saya.

Begitulah kehidupan yang saya jumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak tentunya perjuangan yang harus dilakukan sesorang untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang semakin hedonis. Ketika rasa empati telah mati, maka keakuan akan muncul yang kemudian melahirkan sesuatu yang dapat berakibat buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga kita menjadi orang-orang yang peka akan lingkungan sekitar kita.


Salam dari Berlin,
kamal

18.07 06.02.2010

No comments: